Apa yang terbersit di pikiran teman-teman jika mendengar kata dakwah? Mungkin ada yang teringat dengan para ustadz, alim ulama atau khatib pada saat khutbah Jum'at.
Hakikatnya, setiap muslim yang mengaku beriman pasti mengetahui betul apa itu dakwah. Karena dakwah merupakan aplikasi dari peran kita sebagai khalifah yang di amanahkah Allah kepada kita.
Sebelum kita membicarakan tentang dakwah digital, ada baiknya kita melihat pengertian dari dakwah itu sendiri yang terdapat di dalam Al-Quranul karim.
|
Sumber: Pexels.com |
Di dalam Al-Qur'an makna dakwah memiliki arti sebagai berikut:
Pertama, at-thalabu (اَلطَّلَبُ), meminta, menuntut, atau mengharapkan. Makna seperti ini disebutkan dalam ayat:
لَا تَدْعُوا الْيَوْمَ ثُبُورًا وَاحِدًا وَادْعُوا ثُبُورًا كَثِيرًا
(Akan dikatakan kepada mereka): “Jangan kamu sekalian mengharapkan satu kebinasaan, melainkan harapkanlah kebinasaan yang banyak” (QS. Al-Furqan, 25:14)
Kedua, an-Nida (اَلنِّدَاءُ), menyeru atau memanggil. Makna seperti ini disebutkan dalam ayat:
وَيَوْمَ يَقُولُ نَادُوا شُرَكَائِيَ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ فَدَعَوْهُمْ فَلَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُمْ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ مَوْبِقًا
“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Dia berfirman: ‘Serulah olehmu sekalian sekutu-sekutu-Ku yang kamu katakan itu’. Mereka lalu memanggilnya tetapi sekutu-sekutu itu tidak membalas seruan mereka dan Kami adakan untuk mereka tempat kebinasaan (neraka).” (QS. Al-Kahfi, 18:52)
Ketiga, as-Su-alu (اَلسُّؤَالَ), bertanya, memohon, atau meminta. Makna seperti ini disebutkan dalam ayat:
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا ۚ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ
“Mereka berkata: ‘Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya’. Musa menjawab: ‘Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya’” (QS. Al-Baqarah, 2:69)
Keempat, al-hatsa wat tahridhu ‘ala fi’lis syai’ (اَلْحَثُّ وَالتَّحْرِيْضُ عَلَى فِعْلِ شَيْءٍ), mendorong untuk melakukan sesuatu. Makna seperti ini disebutkan dalam ayat:
وَيَا قَوْمِ مَا لِي أَدْعُوكُمْ إِلَى النَّجَاةِ وَتَدْعُونَنِي إِلَى النَّارِ
“Hai kaumku, bagaimanakah kamu, aku menyeru kamu kepada keselamatan, tetapi kamu menyeru aku ke neraka?” (QS. Al-Mu’min, 40:41)
Kelima, al-Istighatsatu (اِلاِسْتِغَاثَةُ), meminta pertolongan. Makna seperti ini disebutkan dalam ayat:
قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ أَوْ أَتَتْكُمُ السَّاعَةُ أَغَيْرَ اللَّهِ تَدْعُونَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu, atau datang kepadamu hari kiamat, apakah kamu menyeru (tuhan) selain Allah; jika kamu orang-orang yang benar!’” (QS. Al-An’am, 6:40)
Keenam, al-Amru (اَلأَمْرُ), memerintahkan. Makna seperti ini disebutkan dalam ayat:
وَمَا لَكُمْ لَا تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۙ وَالرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ لِتُؤْمِنُوا بِرَبِّكُمْ وَقَدْ أَخَذَ مِيثَاقَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah padahal Rasul menyeru kamu supaya kamu beriman kepada Tuhanmu. Dan sesungguhnya Dia telah mengambil perjanjianmu jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hadid, 57:8)
Ketujuh, ad-du’a (اَلدُّعَاءُ), doa. Makna seperti ini disebutkan dalam ayat:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf, 7:55)
Makna Dakwah Secara Istilah
Dakwah adalah:
دَعْوَةُ النَّاسِ إِلَى اللهِ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ حَتَّى يَكْفُرُوْا بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَ يَخْرُجُوْا مِنْ ظُلُمَاتِ الْجَاهِلِيَّةِ إِلَى نُوْرِ الإِسْلاَمِ
“Menyeru manusia kepada Allah dengan hikmah dan nasihat yang baik, sehingga mereka mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah serta keluar dari kegelapan jahiliyah kepada cahaya Islam.”
Definisi dakwah di atas disandarkan kepada tiga ayat berikut ini:
1. An-Nahl: 125
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl, 16: 125)
bil-hikmah wal mauidhatil hasanah (dengan hikmah dan pelajaran yang baik) dalam QS. An-Nahl ayat 125.
- Dengan cara bijakasana yang telah Allah wahyukan kepadamu di dalam al-qur’an dan -sunnah. Dan bicaralah kepada manusia dengan metode yang sesuai dengan mereka, dan nasihati mereka dengan baik-baik yang akan mendorong mereka menyukai kebaikan dan menjauhkan mereka dari keburukan (Tafsir Al-Muyassar, Kementrian Agama Saudi Arabia).
- Dengan cara yang sesuai dengan keadaan objek dakwah, pemahaman dan ketundukannya, melalui nasihat yang mengandung motivasi dan peringatan (Tafsir Al-Mukhtashar, Markaz Tafsir Riyadh).
- Dengan ucapan yang benar dan mengandung hikmah. Pendapat lain mengatakan, yakni dengan bukti-bukti yang menimbulkan keyakinan. Wal mauidhatil hasanah, yakni ucapan yang baik dan indah bagi pendengarnya yang meresap ke dalam hati sehingga dapat meyakinkannya dan menjadikannya mau untuk mengamalkannya (Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar).
- Dengan perkataan yang penuh hikmah yang menjelaskan tentang kebenaran, yaitu dengan dalil nyata dan tidak samar, dengan pelajaran yang bermanfaat serta ucapan yang baik dan lemah lembut tanpa menyakiti. (Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili).
- Dengan Al-Qur’an dan perkataan yang bijak dan benar, berdasarkan dalil yang menjelaskan kebenaran. Wal mauidhatil hasanah, yaitu pelajaran-pelajaran dari Al-Qur’an, dan perkataan lembut dan baik (Aisarut Tafsir, Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi)
- Hikmah artinya tepat sasaran; yakni dengan memposisikan sesuatu pada tempatnya. Termasuk ke dalam hikmah adalah berdakwah dengan ilmu, berdakwah dengan mendahulukan yang terpenting, berdakwah memperhatikan keadaan mad’u (orang yang didakwahi), berbicara sesuai tingkat pemahaman dan kemampuan mereka, berdakwah dengan kata-kata yang mudah dipahami mereka, berdakwah dengan membuat permisalan, berdakwah dengan lembut dan halus. Adapula yang menafsirkan hikmah di sini dengan Al Qur’an. Wal mauidhatil hasanah, yakni nasehat yang baik dan perkataan yang menyentuh. Termasuk pula memerintah dan melarang dengan targhib (dorongan) dan tarhib (menakut-nakuti). Misanya menerangkan maslahat dan pahala dari mengerjakan perintah dan menerangkan madharrat dan azab apabila mengerjakan larangan (Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an, Marwan Hadidi bin Musa).
- Dengan hikmah, yaitu tegas, benar, serta bijak, dan dengan pengajaran yang baik (Tafsir Ringkas, Kementrian Agama RI).
2. Al-Baqarah: 256
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 256)
Yakfuru bi-thaghuti wa yu’min billah dalam QS. Al-Baqarah ayat 256.
- Kafir pada semua sesembahan selain Allah dan beriman kepada Allah (Tafsir Al-Muyassar, Kementrian Agama Saudi Arabia)
- Ingkar kepada segala sesuatu yang disembah selain Allah dan berlepas diri darinya, kemudian beriman kepada Allah semata (Tafsir Al-Mukhtashar, Markaz Tafsir Riyadh).
- Mengingkari thaghut yakni dukun, syaithan, berhala, dan seluruh pemimpin kesesatan (Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar)
- Kafir kepada taghut yaitu segala hal yang meniadakan keimanan kepada Allah dari kesyirikan dan lainya (Tafsir As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di).
- Ingkar kepada thagut, yaitu setan dan apa saja yang dipertuhankan selain Allah, dan beriman kepada Allah (Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI)
3. Al-Baqarah: 257
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ ۗ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 257)
yukhrijunahum minan nuri iladz dzulumat dalam QS. Al-Baqarah ayat 257.
- Mengeluarkan mereka dari berbagai kegelapan kekafiran menuju cahaya iman (Tafsir Muyassar, Kementrian Agama Saudi Arabia)
- Dia membimbing, menolong dan mengeluarkan mereka dari gelapnya kekafiran dan kebodohan menuju terangnya iman dan ilmu (Tafsir Al-Mukhtashar, Markaz Tafsir Riyadh)
- Dia mengeluarkan mereka dari gelapnya kekufuran, kebingungan dan kebodohan menuju cahaya hidayah, keimanan dan ilmu pengetahuan (Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili).
- Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan kejahilan, kekufuran, kemaksiatan, kelalaian, kepada ketaatan, dan penerimaan yang total terhadap RabbNya, dan Allah menerangi hati mereka dengan apa yang dipancarkaNya ke dalamnya dari cahaya wahyu dan keimanan, memudahkan mereka kepada kemudahan, dan menjauhkan mereka dari perkara yang sulit (Tafsir As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di)
- Dia memelihara, mengangkat derajat, dan menolong mereka. Salah satu bentuk pertolongan-Nya adalah dia selalu terus menerus mengeluarkan dan menyelamatkan mereka dari kegelapan kekufuran, kemunafikan, keraguan, dorongan mengikuti setan, dan hawa nafsu, kepada cahaya keimanan dan kebenaran. Cahaya iman apabila telah meresap ke dalam kalbu seseorang akan menerangi jalannya, dan dengannya ia akan mampu menangkal kegelapan dan menjangkau sekian banyak hakikat dalam kehidupan (Tafsir Ringkas, Kementrian Agama RI).
Di dalam dakwah, ada istilahnya tsawabit dan mutaghoyyiron. Tsawabit maksudnya hal-hal prinsip yang terdapat dalam dakwah yang sifatnya tetap dan tidak bisa berubah. Yaitu esensi dari dakwah itu sendiri yang terdapat dalam surat At-Taubat ayat 71.
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Sedangkan mutaghayyiron adalah hal-hal yang sifatnya fleksibel dan mengikuti perkembangan zaman, salah satunnya wasilah dakwah itu sendiri. Yaitu media atau sarana yang digunakan para pendakwah dalam menyampaikan pesan dakwah itu sendiri. Dan saat ini pemanfaatan kemajuan teknologi atau dunia digital dalam dakwah menjadi fenomena yang bisa kita rasakan sendiri sehingga munculah istilah dakwah digital.
Kemudahan yang ditawarkan dunia digital dalam berinteraksi dan menyampaikan pesan tentu mempermudah kita dalam berdakwah. Pemanfaatan media sosial misalnya, sebut saja Facebook, Instagram, Youtube bahkwan aplikasi semacam TikTok pun bisa kita manfaatkan untuk sarana dakwah. Selain itu aplikasi personal seperti Whatsapp, telegram, signal, Line dan masih banyak lagi yang memungkinkan kita berkomunitas dan menjadikannya pelulang dakwah kita.
Namun, dibalik kemudahan yang ditawarkan dunia digital untuk dakwah digital kita, ada tantangan tersendiri yang jika tidak kita perhatikan dengan baik bisa menjadi mata pisau yang siap membahayakan dakwah kita sendiri. Apakah itu? Yaitu etika dalam berdakwah.
Sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari dimana Islam sudah mengatur sedemikian rupa adab atau etika seorang Muslim mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, bermedia sosial tentu termasuk ke dalam keseharian yang harus kita perhatikan adab dan etikanya. Namun tak jarang banyak individu yang mendikotomikan kehidupan maya ini sehingga terdapat perbedaan sikap dalam dunia maya dan dunia nyata mereka. Dan tentu fenomena ini kita lihat atau rasakan sendiri.
Dalam dakwah digital, pemanfaatan media sosial baik secara eksplisit ataupun implisit sebagai sarana dakwah harus memperhatikan etika berikut:
1.Muraqabah
Etika pertama yakni merasa selalu diawasi oleh Allah. Apapun yang kita posting, termasuk niat dibalik postingan tersebut, sadarilah selalu bahwa semua itu diketahui oleh Sang Maha Tahu. Dengan selalu merasa diawasi Allah, maka pastilah kita takut melanggar batasan-batasan agama dalam memanfaatkan medsos.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Jika kamu menampakkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 54).
2.Hisab
Ingatlah selalu bahwa ada hisab atau perhitungan atas setiap apa yang kita lakukan, meski seberat dzarrah. Setiap kalimat, foto, video yang kita unggah, akan dipertanyakan kelak di akhirat. Allah berfirman, “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat Dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar Dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya.” (QS. Az-Zalzalah: 7-8).
3.Istifadah
Yakni menggunakan sarana yang ada untuk diambil manfaatnya. Jika media sosial bermanfaat bagi kehidupan kita, maka tak ada salahnya untuk memanfaatkannya. Namun jika medsos justru membawa lebih banyak kerugian daripada manfaatnya, maka etika seorang muslim pastilah menghentikan aktivitas tersebut.
Rasulullah bersabda, “Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At Tirmidzi).
4.Bertanggung jawab
Menggunakan medsos berarti kita bertanggung jawab atas semua yang diposting ke publik, termasuk saat follow, share, Iike, retweet, repost, comment dan lain sebagainya. Seorang muslim beretika baik akan berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu atau menanggapi sesuatu. “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati akan diminta pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36)
5.Menjaga batasan pergaulan
Batasan ini terkhusus pada hubungan antara pria dan wanita. Meski tidak bertatapan langsung, medsos mampu membawa jerat-jerat penyakit hati di setiap interaksi lawan jenis. Maka batasilah interaksi dengan lawan jenis yang bukan mahram dan yang tak ada keperluan penting dengannya.
6.Memperhatikan pertemanan
Berteman di medsos mestilah mempertimbangkan kebaikan dengan timbangan ilmu syar’i. Jangan Bermudah-mudahan mengikuti status seseorang yang tak jelas kebaikannya. Ibnu Mas’ud pernah memberikan nasihat, “Jika engkau sekedar menjadi pengikut kebaikan, maka itu lebih baik daripada engkau menjadi panutan dalam kejelekan.” (Kitab Al Ibanah).
7.Wasilah
Etika muslim berikutnya yakni menjadikan medsos sebagai penghantar atau sarana atau wasilah kepada kebaikan. Artinya, manfaatkanlah medsos untuk menebar kebaikan. Sebagai contoh, memposting ayat-ayat Al-Qur’an, hadits, kata mutiara para shahabat Rasulullah, permasalahan agama dan lain sebagainya.
8.Tidak lalai
Inilah yang sering luput jika sudah asyik bermain medsos. Kita mudah terlalaikan hingga waktu yang berhaga terbuang begitu saja.
9.Mengumpulkan kebaikan
Etika muslim dalam bermedia sosial dengan menjadikannya sebagai sarana pengumpul ilmu dan kebaikan. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang memberi teladan dalam agama ini suatu kebaikan, maka baginya pahala setiap orang yang mengamalkannya hingga hari Kiamat tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.”
10.Ikhlas
Selalu menjaga keikhlasan menjadi salah satu etika yang harus dilakukan muslimin saat bermedia sosial. Termasuk didalamnya agar tidak memposting sesuatu dengan maksud ria. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mampu merahasiakan amal salehnya, maka hendaknya ia lakukan.” (HR. Al Khatib)
Ibnu Rajab pernah berkata, “Tidaklah seseorang yang ingin dilihat itu mencari perhatian makhluk. Akan tetapi mereka melakukannya akibat kejahilan (kebodohan) diri akan keagungan Sang Khalik.”
Dengan melaksanakan 10 etika ini, maka media sosial yang sejatinya berbahaya dapat menjadi sebuah anugerah bagi manusia. Kemajuan teknologi tentu bersifat memudahkan kehidupan manusia. Namun kemajuan tersebut harus dibarengi dengan ilmu syar’i dan akhlakul karimah. Mari beretika muslim saat memanfaatkan media sosial.
Sumber: “10 Tips Seputar Gadget Sesuai Syariat”; buletin Syiar Tauhid edisi 09.
https://muslimahdaily.com/khazanah/muslim-digest/item/978-10-etika-bermedia-sosial-dalam-islam.html
Lalu seperti apakah pemanfaatan media sosial untuk dakwah bagi masing-masing kita?
Mari kita lihat aneka geliat dakwah digital yang menyorot perhatian publik tentang penyebaran dakwah Islam di Indonesia.
1. Aneka Kajian Online
2. Komunitas Barisan Bangun Negeri
3. Komunitas Musawarah
4. Komunitas Pemuda Hijrah
Setelah melihat geliat dakwah digital di atas, dakwah seperti apa yang bisa kita lakukan di era digital ini?
Akankah dakwah digital termanfaatkan dengan baik bagi perkembangan dakwah?
Seperti apa dakwah di masa depan?
Kita tidak bisa menutup mata dari perkembangan zaman. Pilihannya, akankan kita manfaatkan untuk kebaikan atau membiarkannya diwarnai aneka keburukan?
Mungkin kedepan kita bisa bahas tantangan dakwah di era digital kali ya ...
Serpong, 19 Februari 2021
Dibuat sebagai tugas pribadi di kelompok mengaji.