Entah apa yang melatarbelakangi seorang wanita sehingga termotivasi untuk menjadi ibu. Bagaikan sebuah robot yang didesain untuk tujuan tertentu, seperti itulah wanita yang berkeinginan menjadi seorang ibu. Katanya, jika sudah menjadi ibu maka lengkap sudah rasanya peran sosial yang diperoleh. Jika sudah menjadi seorang ibu maka terbebaslah kita dari tatapan penuh tanya dari lingkungan sekitar. Jika jadi seorang ibu maka sempurnalah kehidupan.
Benarkah?
Sebuah Pola Yang Berulang
Sebagai makhluk yang dikenal dengan rasa tidak cepat puas, mudah iri hati, dan memiliki rasa penasaran yang tinggi, manusia acapkali melihat sesuatu dari sudut pandang terjauh mereka. Kita sering lupa menoleh ke arah terdekat kita dalam menggapai sesuatu.
Hal yang paling sering kita temui dan agaknya setiap manusia melewatinya yaitu ketika ada rasa ingin segera menjadi besar ketika kita masih kecil. Seperti, saat TK, kita ingin segera SD. Ketika sudah SD, kita ingin segera SMP. Saat SMP, kita ingin segera SMA. Ketika SMA, kita ingin segera kuliah. Dan disaat kuliah, tak sedikit yang ingin segera menikah dan seterusnya.
Sebuah pola yang berulang ini bisa dikatakan sebagai wujud karakter bawaan manusia yang memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi yang disertai dengan rasa tidak cepat puas dengan apa yang sedang dijalani saat itu. Dalam bahasan agama kita sering mendengar dengan "manusia sering khilaf, lupa bersyukur dan seringnya kufur".
Mari Kita Berpikir
Jika kita perhatikan, di dalam Al-Qur'an banyak sekali ayat yang mengisyaratkan kita untuk berpikir. Lebih kurang seratus ayat meminta manusia untuk berpikir dan menghayati sesuatu hal. Artinya, jika kita sudah menyadari pentingnya meneliti sesuatu hal sebelum melakukannya, maka kita tentu akan terhindar dari kesia-siaan apalagi rasa penyesalan.
Merupakan hal yang tabu pada masyarakat kita memberikan bekal pendidikan menjadi ibu bagi anak perempuan kita. Ketabuan ini hasil dari ketidakmampuan membahasakan peran yang begitu kompleks dalam sebuah kalimat sederhana. Sehingga yang terjadi hanyalah sebuah pola berulang yang didapat orang tua dari orang tuanya dengan polesan berbekal rasa trauma atau pengalaman.
Maka tak jarang yang muncul adalah letupan pikiran bahwa ketika menjadi seorang ibu maka saya akan seperti ini dan tidak akan seperti itu. Tanpa mencari dan meneliti mengapa sikap seperti itu bisa muncul di dalam diri kita. Akibatnya, ketika benar-benar sudah menjadi ibu maka kita akan bersikap 'gagap' dan cenderung 'spontan' ketika menghadapi permasalahan dalam pengasuhan anak. Maka muncullah yang sering disebut pakar psikologi dengan istilah Inner Child.
Ada yang menyadari pola ini dengan cepat, ada yang berlalu begitu saja tanpa sebuah solusi dan sangat 'menikmati' lika likunya. Ada pula yang tidak menyadarinya sama sekali.
Kompleksitas Manusia
Sekian juta manusia di dunia Allah ciptakan dengan perbedaan segala macam rupanya. Tak hanya fisik, perbedaan karakter dan watak menjadi pembentuk utama kompleksitas kehidupan manusia. Yang dengannya, muncullah budaya dan stereotype yang tercipta.
Namun dalam pembentukan sebuah keluarga, kompleksitas ini menjadi sangat detail dan dan
Sangat bercabang. Ada faktor-faktor khusus yang melatarbelakangi pembentukan karakter seseorang. Tak hanya sekedar pengaruh lingkungan sosial melainkan hal kecil yang mengiringi kehidupan manusia setiap detiknya. Yang mana hal tersebut tersimpan di dalam memori bawah sadar manusia yang mempengaruhi segala sesuatu terkait manusia itu.
Maka, kemunculan standar sosial berdasarkan standar wajar yang disepakati mayoritas manusia, itulah yang akan memimpin. Maka sudah menjadi suatu hal yang lumrah ketika manusia ingin menjadi ini dan itu selagi hal itu masih dipandang wajar. Namun sayang, manusia lupa untuk mempertanyakan 'mengapa' atas setiap keinginan mereka.
Mengapa Mau Menjadi Ibu?
Kembali ke pembahasan awal, tentang menjadi ibu. Jika kita berani mempertanyakan alasan dibalik mengapa kita, wanita, mau menjadi ibu, apakah jawaban yang kira-kira akan kita kita lontarkan?
Pastinya aneka jawaban akan bermunculan, tergantung pada landasan berpikir masing-masing kita. Ada yang membawa motivasi agama, ada yang mengungkap motivasi sosial, atau ada juga yang sekedar menjalaninya tanpa alasan.
Tidak ada jawaban mutlak untuk pertanyaan ini. Bahkan Allah pun tidak pernah memaksa kita untuk menjadi seorang ibu. Dan tentunya Allah lah Dzat yang paling berhak untuk menentukan siapa saja diantara wanita di dunia ini yang akan dititipkan tanggungjawab pembentuk peran ibu ini.
Lalu untuk apa kita 'memaksa diri kita' menjadi seorang ibu?
Memaknai kembali tujuan mengapa kita diciptakan, maka disitulah kita bisa memperoleh jawaban atas pertanyaan di atas, yaitu:
ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ ÙˆَالْØ¥ِÙ†ْسَ Ø¥ِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaku". (QS. adz Dzariyat: 56)
Jangan Mau Menjadi Ibu
Menjadi ibu, memang sangatlah mudah. Bahkan banyak wanita yang tidak sadar melakukan perbuatan tercela yang mengantarkannya pada peran baru yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Layaknya anak TK yang tidak mengetahui betapa tidak mengenakkannya SD karena tidak bisa bermain sepuasnya layaknya di TK.
Namun dengan menjadi ibu, ternyata itulah cara Allah menolong kita para wanita. Menolong untuk tersadar dari kekhilafan dan dan kebodohan kita. Yang menganggap bahwa ibu hanyalah sebuah perubahan peran sosial karena sebuah hubungan biologis. Dengan menjadi ibu, kita menjadi mau berpikir melebihi sebelumnya. Berpikir atas problematika kehidupan yang kita hadapi dengan hadirnya seorang anak.
Maka janganlah sesekali mau menjadi seorang ibu jika cara kita memandang hidup hanyalah sebuah kesenangan belaka. Maka janganlah mau menjadi ibu, jika dunia adalah tujuan yang membuat kita lupa konsep menghamba.
Batujajar, 7 Agustus 2020