Barusan iseng buka blog sendiri di chrome. Kemudian ku tersadar bahwa tahun 2019 akan segera berakhir. Dan saat ku melihat jumlah tulisan di blog pada tahun 2019 anjlok, disitu ku sedih kenapa ku berhenti ngeblog 😭.
Terkadang kita memang butuh berhenti dari sesuatu yang tadinya rutin kita jalani. Namun berhenti terlalu lama tentu juga tidak baik. Yang ada malah keenakan seperti halnya saya yang berhenti ngeblog 😢.
Tahun 2019 memang tahun hectic saya. Selain hectic karena bertambah anggota keluarga, saya juga hectic karena menghadapi masa-masa akhir perkuliahan suami. Lebih tepatnya masa akhir kami menerima dana bantuan beasiswa LPDP. Artinya, ketika suami tidak lulus akhir tahun ini, maka kami harus bersiap membiayai uang kuliah semester depan.
FYI, uang kuliah mahasiswa disertasi di kampus suami ku (The Ohio State University) adalah sebesar $8000. Sangat mustahil kami bisa membayar ini semua. Pun dari pihak kampus terutama pihak jurusan suami, tidak bisa menjanjikan bantuan biaya kuliah. Sehingga satu-satunya solusi hanyalah SEGERALAH LULUS 😁😁
Setelah melewati lika liku yang cukup panjang, menantang dan bikin tegang, alhamdulillah suami ku lulus dan resmi jadi bapak Doktor tanggal 3 Desember kemaren. Trus aku otomatis jadi ibu Doktor kan ya ... ✌️✌️🤭🤭
Perjalanan studi suamiku bisa dibilang cukup epic. Dari awal memulai studi hingga detik-detik mau ujian sidang disertasi, ada aja hal-hal yang bikin semua tak sesuai rencana awal. Tentunya hal ini bikin ketar ketir donk. Karena seolah dibayang-bayangi ga jadi lulus tepat waktu.
Doyan Mempercepat
Entahlah ini baik atau tidak. Tapi memang 2 kata di atas gambaran keluarga kami. Entah mengapa segala sesuatu dikeluarga kami diuji dengan waktu. Bahwa apa yang kami jalani serba dipercepat. Termasuk kuliah suami.
S2 yang harusnya membutuhkan waktu 2 tahun, bisa diselesaikan dalam waktu 13 bulan oleh suami. Katanya motivasinya hanya 1, ingin segera berkumpul dengan keluarga. Padahal, awal perkuliahan suamiku ngeluh kewalahan mengikuti perkuliahan. Terlebih mata kuliah yang dia ambil ternyata mata kuliah anak S3. Biidznillah, ternyata terlewati semua. Tanpa ku tau bagaimana perjuangannya.
Dipercepat lulus kenapa bilang diuji? Karena bagi kami segala sesuatu itu adalah ujian. Paling tidak ujian niat bagi kami atau ujian hati biar tidak sombong. Dan ujian untuk suami yang ga terlalu lama menikmati US 🤭
Timeline Sekedar Timeline
Bagi kami, berbagi dan mendiskusikan jadwal dan targetan diri satu sama lain bisa dikatakan jadi rutinitas. Jadi misal suami bilang akan ada magang bulan sekian tanggal sekian. Saya pun demikian, harus kesini dan dan kesini untuk pemenuhan kebutuhan hari ini minggu sekian bulan sekian.
Namun ternyata dalam perjalanannya, timeline hanya sekedar timeline. Sangat banyak jadwal yang berganti tidak sesuai timeline, termasuk jadwal perjalanan studi suami. Kalo timeline aku kalo berubah cuma ngefek kekondisi perut 😂. Kalo timeline studi suami???
Normalnya, akhir tahun 2018 suami sudah harus menjalani ujian candidacy, semacam komprehensi. Namun ternyata harus diundur karena saya baru saja melahirkan anak ketiga. Kemunduran ini tentu berimbas pada timeline yang lain. Sehingga kami merasa perlu melirik hal lain yang bisa membantu kami mengembalikan timeline menjadi normal. Terutama timeline kelulusan 😁
Mempercepat Kepulangan Saya dan Anak-anak adalah bagian dari Solusi
Tak banyak keluarga yang memilih berpisah ketika menjalani studi. Dan mungkin sangat jarang sekali keluarga mahasiswa yang mempercepat kepulangan mereka. Jikapun ada bukan untuk konteks mempercepat, namun melepas rindu dengan mudik.
Berbeda dengan keluarga kami yang memilih mempercepat kepulangan saya dan anak-anak sebagai salah satu usaha normalisasi kondisi. Selain itu, deadline lulus suami yang bersamaan dengan musim dingin, membuat kami semakin membulatkan tekad untuk kembali menjalani hubungan jarak jauh (LDM/Long Distance Marriage).
Tentunya kepulangan ini sudah mengalami pertimbangan yang matang. Bahkan sudah kami persiapkan sejak tahun 2018. Namun secara teknis memang terkesan mendadak.
Realistis
Sebagai keluarga yang memiliki anak cukup banyak, kami mencoba realistis dalam mengambil keputusan. Apakah sebuah keputusan diambil benar-benar murni untuk memperoleh kebaikan bersama atau hanya ego sesaat.
Salah satu hal yang menjadi pertimbangan real kami adalah perihal uang. Manakah yang lebih hemat ketika kami hidup bersama hingga kelulusan atau hidup berjarak. Setelah dihitung-hitung, sebenarnya sama aja. Cuma beda tipis 😂.
Tiba-tiba Banyak Drama
Dimasa-masa penuh pertimbangan ini, entah kenapa tiba-tiba kami merasa memperoleh begitu banyak skenario drama kehidupan 😅. Mulai dari drama kompor ga bisa mati saat suami sedang di Kanada, drama lupa matiin kompor sampe rumah nyaris kebakaran, drama Zaynab eczema, drama zazi gores mobil tetangga dan kami ganti rugi sebesar $600, hingga drama keluarga dekat (pamannya suami) kami meninggal 2 orang.
Drama yang terakhir inilah yang akhirnya membuat saya memutuskan memantapkan diri berkata:
"Kayanya ini pertanda kita disuruh pulang ke Indonesia deh!"
Bukan karena saya merasa dipaksa, tapi benar-benar lebih ke 'perenungan' gitu lho. Kondisi dimana kita merasa kok ya banyak kejadian yang ngegiring kita untuk selalu mikirin satu hal. Dalam kasus kami, satu hal nya adalah pulang ke tanah air.
Mama Mertua
Tinggal di daerah rawan banjir seorang diri, merupakan faktor pendorong mempercepat kepulangan ke Indonesia.
Sebenarnya orang-orang sekitar mertua ada. Tetangga alhamdulillah baik2. Pun sebelah rumah mertua masih rumah adik dan kakak dari mama mertua.
Namun, karena kerabat yang meninggal merupakan suaminya bibi. Yang mana beliaulah selama ini satu-satunya laki-laki yang masih kuat untuk melakukan ini itu untuk keluarga di Baleendah, terutama ketika banjir datang. Jadilah membuat kami semakin galau. Artinya hanya tersisa Uwa yang sudah renta laki-lakinya. Kalo terjadi apa-apa? Amerika itu jauh. Ga bisa pulang mendadak dan butuh waktu 2 hari baru sampe ke Indonesia.
Selain itu, kondisi kesehatan mama mertua juga agak kurang stabil. Semakin membuat kami tidak terlalu menikmati kehidupan di rantau seperti tahun sebelumnya. Ya inilah mungkin yang dinamakan cara Allah ngasih petunjuk ya. Karena kan yang menghadirkan pemikiran untuk pulang, tentunya Allah. Dan alhamdulillahnya udah di tahun akhir kuliah. Kalo tahun awal? Ga kebayang bakal kaya gimana ☹️.
Meluruskan Niat
Meskipun niat awal pulang dipercepat karena karena ingin berbirrul walidain, kami tetap harus meluruskan niat. Khawatirnya kalo niat salah, malah bikin kecewa dan jadi ga ikhlas dengan keputusan yang sudah diambil. Salah satu caranya biar lurus niat, dengan melihat berbagai macam konsekuensi logis yang akan kami hadapi sesampai di Indonesia. Apa sajakah itu?
1. Sekolah anak-anak
Mempercepat kepulangan artinya memberhentikan sekolah ZaZi sebelum waktu liburan tiba. Ada rasa sedih bercampur kasihan. Karena ZaZi tengah menikmati sekali bersekolah disini. Terlebih mereka sudah kelas 1 SD. Ya Allah ... Sedih kalo harus mengingat-ingat ini. Semoga ZaZi bisa memperoleh pengalaman belajar lebih baik di Indonesia.
Hingga saat ini saya belum bisa bercerita banyak tentang pilihan pendidikan ZaZi. Opsi homeschooling masih menduduki peringkat pertama 😅. Dan kegalauan hati karena karena sekolah ZaZi ini sudah saya persiapkan agar kuat mental hiks. Doakan ya ...
2. Adaptasi anak-anak, jiwa dan raga
Perubahan cuaca dan iklim dari negara 4 musim ke negara tropis, anak-anak tentu butuh waktu adaptasi fisik. Perubahan iklim sosial pun membuat anak-anak cukup terkaget melihat perbedaan yang ada antara Amerika dan Indonesia. Dan tentunya kami harus bersiap untuk hal ini.
Benar saja, minggu awal di Indonesia, anak-anak-anak bergantian diare dan demam. Memasuki musim penghujan, mereka mengalami batuk kering disertai demam juga secara bergantian. Drama anak sakit di rantau vs saat LDM itu beda sensasinya 😅
3. Domisili
Mempercepat kepulangan saya dan anak-anak artinya, suami belum selesai kuliah. Belum Ph.D. artinya, setelah ke Indonesia, suami harus kembali ke US. Artinya lagi, kami harus memikirkan pilihan domisili saat LDM.
Disinilah niat mulia birrulwalidain diuji. Setelah 1 minggu bersama mertua, kami pun bertolak ke Payakumbuh (rumah orang tua saya). Rumah mertua yang langganan banjir, di musim panas jadi kekeringan. Dampaknya, anak-anak diare karena kekurangan air bersih dan mungkin karena adaptasi cuaca dan dan lingkungan juga.
Alhamdulillah kondisi mertua stabil dan support kuliah anaknya kelar cepat. Sehingga segala macam bentuk keputusan kami beliau dukung. Paling tidak jika terjadi apa-apa, saya sudah di Indonesia dan bisa dengan cepat ke Bandung ketimbang kalo saya masih di US . Ya kan?
4. Disertasi
Konsekuensi pulang cepat yang harus dihadapi berikutnya yaitu, pengerjaan disertasi suami yang dilakukan selama perjalanan dan di Indonesia. FYI, suami mengerjakan disertasi di Payakumbuh selama 3 minggu. Kenapa di Payakumbuh? Karena syarat pulang cepat yang saya ajukan yaitu, LDM jangan terlalu lama. Dan solusinya dengan memastikan sebelum pulang ke Indonesia apakah komite mengizinkan suami mengerjakan disertasi di Indonesia dengan meeting jarak jauh.
Dan alhamdulillah diizinkan 😃
September Ceria, September ke Indonesia!
Meski sudah memutuskan pulang dipercepat, kami saat itu belum memutuskan akan pulang bulan apa. Di akhir tahun 2018 kami sempat mewacanakan pulang di bulan Mei 2019 dengan harapan ZaZi bisa sekolah SD di bulan Juli. Namun rencana itu tidak bisa terlaksana karena suami tidak memungkinkan perjalanan jauh di bulan tersebut.
Selain itu, bulan Mei merupakan bulan dimana eczema Zaynab masih meradang parah. Fokus kami saat itu hanya ke penyembuhan Zaynab. Sehingga hilanglah wacana pulang bulan Mei.
Memasuki akhir Juni, tiba-tiba suami menginfokan bahwa dia bisa ke Indonesia bulan November untuk menghadiri conference. Sehingga kami wacanakan pulang bulan November 2019. Saya pun tidak keberatan karena hanya beda 1 bulan dari kelulusan.
Tak lama berselang, ternyata paper suami juga diterima panitia conference di Jakarta. Dan bulan pelaksanaan conferencenya adalah bulan September. Saya pun keberatan jika pulang bulan September. Karena terlalu lama dari bulan kelulusan. Ditambah saat itu suami masih belum seminar proposal. Sehingga susah untuk saya optimis suami bisa lulus bulan Desember.
Disaat kami masih belum memutuskan kapan akan pulang, bulan Juni atau Juli dalam 2 minggu berturut-turut kami memperoleh berita duka seperti yang saya ceritakan di atas. Disaat itulah saya berfikir bahwa, oh mungkin ini momen yang Allah kasih. Bismillah, dengan segala macam kemungkinan, kami pun memutuskan pulang di bulan September.
Perlahan Melihat Cercah Harapan
Semua berlalu begitu cepat. Saya tidak bisa menggambarkan rincinya bagaimana. Seingat saya, justru pasca kami memutustkan pulang bulan September, satu persatu timeline studi suami terlaksana.
Target seminar proposal yang tadinya bulan Agustus sempat sirna, melihat secercah harapan. Bagaimana ga pesimis. Suami baru candidacy bulan Mei 2019. Agak mustahil jika seminar proposal dilakukan 3 bulan setelahnya. Melihat dari pengalaman teman-teman mahasiswa Indonesia lain, paling cepat jarak antara candidacy dengan seminar proposal yaitu 6 bulan. Bahkan ada yang 1 tahun atau lebih.
Alhamdulillah, sebelum akhirnya pulang, suami memperoleh jadwal seminar di bulan September awal. Tadinya kami sempat deg-degan. Jika sebelum pulang suami belum seminar, maka kemungkinan lulus Desember yang tadinya 80% bisa merosot jadi 1%. Yangmana 1% itu adalah takdir. Artinya, akan ada kemungkinan kami LDM cukup lama ☹️.
Saya deg-degan takut LDM. Suami deg-degan nya banyak. Takut LDM iya, takut bayar uang kuliah sendiri pun iya 😅.
Itulah mungkin hadiah dari Allah karena niat mau birrulwalidain hehehe. Jadinya dilancarin studi 😍. Alhamdulillah tsumma alhamdulillah.
LDM Babak 3
Ya! Pasca saya dianter pulang ke Indonesia bulan September, bulan Oktober kami pun memasuki babak ketiga LDM. Doyan amat ya LDM 😅. Itulah tadi yang saya katakan berhenti sesaat.
Berhenti sesaat dari rutinitas bersama. Hidup terpisah. Asal jangan terlalu lama. Karena khawatir keenakan kaya saya keenakan ga ngeblog 😂😂. Kan bahayaaaa
Ya begitulah. Live must go on kalo kata orang. Suami harus lulus tepat waktu kalo ga mau LDM lama-lama. Artinya, disertasi harus kelar. Riak-riaknya bikin banyak berdoa. Ya itulah tujuan Allah ngasih kita riak kehidupan.
Sebelum balik ke US, disertasi suami sempat diobrak-abrik lagi pasca hasil revisi seminar dikembalikan komite ke suami. Saya aja stres. Apalagi suami. Raga suami di Payakumbuh. Tapi jiwanya sama disertasi 😂😂. Sampai akhirnya balik US, diperjalanan pun laptop jadi kekasihnya 🙈. Demi submit ontime ke komite agar memperoleh kejelasan apakah bisa final exam atau ...
Alhamdulillah, minggu awal November kami sudah memperoleh kejelasan timeline. Kapan pre exam, kapan final exam. Tapi, potensi gagal itu ada. Jika pre exam gagal. Final exam ga akan jadi 😭. Alhamdulillah semua terlewati. Yaitu resmi Ph.D atau doktor per tanggal 3 Desember 2019.
S2 dan S3 Tak Wisuda
Karena wisuda itu tak selamanya pas sama timeline kita 😅.
Jaman S2, di Ohio University jadwal wisuda hanya 2 kali dalam 1 tahun, yaitu bulan Mei dan Desember. Sedangkan suami lulus bulan Agustus. Bisa sih dikondisikan lulus Desember untuk wisuda. Toh masih ada hak dari beasiswa. Tapi, family is numero uno 🙈. Alias udah kangen keluarga. Apalagi dari nikah bisa dikatakan kami hanya bersama 8 bulan doank. Ya pasti kangenlah 😢
Begitu juga dengan S3. Ujiannya luar biasa.
Bisa. Bisa banget kalo suami mau wisuda. Peluang besar banget bahkan bisa bantu kita nambah pundi-pundi tabungan. Namun ternyata kami ga bisa bohong. Family is numero uno 😅. Terutama anak-anak udah besar kaya sekarang. Rapuh kami sekeluarga di LDM babak 3 ini. Hingga akhirnya, lagi-lagi pak Topik ga wisuda 😢.
Yang sedih saya. Yang merasa bersalah saya. 😔😟 Suami? Alhamdulillah santai kaya di pantai. Saya hanya berdoa semoga Allah kasih pengganti kisah yang lebih indah. Aamiin.
Demikian
Ya begitulah catatan akhir tahun saya. Meski sudah di Indonesia dari bulan September, tapi karena suami baru pulang dari US tanggal 24 Desember kemaren, jadi saya pun merasa baru pulang 😂. Lebih tepatnya baru akan bersiap menghadapi kehidupan pasca rantau yang sebenarnya. Karena 3 bulan kemaren hanyalah masa transisi dimana kami belumlah bertransformasi secara utuh sebagai 1 keluarga.
Semoga cerita panjang ini ada hikmahnya 😅.
Setiap keputusan yang diambil secara sadar, in sya allah bikin kita jadi bisa melihat lebih dalam hikmahnya. Dan bikin bersyukur banyak. Ya meski tetap sih saya masih rindu Columbus. Ga boong kalo saya reverse culture shock 🙈 sampe sekarang 😂😂.
Payakumbuh, 1 Januari 2020
Terkadang kita memang butuh berhenti dari sesuatu yang tadinya rutin kita jalani. Namun berhenti terlalu lama tentu juga tidak baik. Yang ada malah keenakan seperti halnya saya yang berhenti ngeblog 😢.
Tahun 2019 memang tahun hectic saya. Selain hectic karena bertambah anggota keluarga, saya juga hectic karena menghadapi masa-masa akhir perkuliahan suami. Lebih tepatnya masa akhir kami menerima dana bantuan beasiswa LPDP. Artinya, ketika suami tidak lulus akhir tahun ini, maka kami harus bersiap membiayai uang kuliah semester depan.
FYI, uang kuliah mahasiswa disertasi di kampus suami ku (The Ohio State University) adalah sebesar $8000. Sangat mustahil kami bisa membayar ini semua. Pun dari pihak kampus terutama pihak jurusan suami, tidak bisa menjanjikan bantuan biaya kuliah. Sehingga satu-satunya solusi hanyalah SEGERALAH LULUS 😁😁
Setelah melewati lika liku yang cukup panjang, menantang dan bikin tegang, alhamdulillah suami ku lulus dan resmi jadi bapak Doktor tanggal 3 Desember kemaren. Trus aku otomatis jadi ibu Doktor kan ya ... ✌️✌️🤭🤭
Perjalanan studi suamiku bisa dibilang cukup epic. Dari awal memulai studi hingga detik-detik mau ujian sidang disertasi, ada aja hal-hal yang bikin semua tak sesuai rencana awal. Tentunya hal ini bikin ketar ketir donk. Karena seolah dibayang-bayangi ga jadi lulus tepat waktu.
Doyan Mempercepat
Entahlah ini baik atau tidak. Tapi memang 2 kata di atas gambaran keluarga kami. Entah mengapa segala sesuatu dikeluarga kami diuji dengan waktu. Bahwa apa yang kami jalani serba dipercepat. Termasuk kuliah suami.
S2 yang harusnya membutuhkan waktu 2 tahun, bisa diselesaikan dalam waktu 13 bulan oleh suami. Katanya motivasinya hanya 1, ingin segera berkumpul dengan keluarga. Padahal, awal perkuliahan suamiku ngeluh kewalahan mengikuti perkuliahan. Terlebih mata kuliah yang dia ambil ternyata mata kuliah anak S3. Biidznillah, ternyata terlewati semua. Tanpa ku tau bagaimana perjuangannya.
Dipercepat lulus kenapa bilang diuji? Karena bagi kami segala sesuatu itu adalah ujian. Paling tidak ujian niat bagi kami atau ujian hati biar tidak sombong. Dan ujian untuk suami yang ga terlalu lama menikmati US 🤭
Timeline Sekedar Timeline
Bagi kami, berbagi dan mendiskusikan jadwal dan targetan diri satu sama lain bisa dikatakan jadi rutinitas. Jadi misal suami bilang akan ada magang bulan sekian tanggal sekian. Saya pun demikian, harus kesini dan dan kesini untuk pemenuhan kebutuhan hari ini minggu sekian bulan sekian.
Namun ternyata dalam perjalanannya, timeline hanya sekedar timeline. Sangat banyak jadwal yang berganti tidak sesuai timeline, termasuk jadwal perjalanan studi suami. Kalo timeline aku kalo berubah cuma ngefek kekondisi perut 😂. Kalo timeline studi suami???
Normalnya, akhir tahun 2018 suami sudah harus menjalani ujian candidacy, semacam komprehensi. Namun ternyata harus diundur karena saya baru saja melahirkan anak ketiga. Kemunduran ini tentu berimbas pada timeline yang lain. Sehingga kami merasa perlu melirik hal lain yang bisa membantu kami mengembalikan timeline menjadi normal. Terutama timeline kelulusan 😁
Mempercepat Kepulangan Saya dan Anak-anak adalah bagian dari Solusi
Tak banyak keluarga yang memilih berpisah ketika menjalani studi. Dan mungkin sangat jarang sekali keluarga mahasiswa yang mempercepat kepulangan mereka. Jikapun ada bukan untuk konteks mempercepat, namun melepas rindu dengan mudik.
Berbeda dengan keluarga kami yang memilih mempercepat kepulangan saya dan anak-anak sebagai salah satu usaha normalisasi kondisi. Selain itu, deadline lulus suami yang bersamaan dengan musim dingin, membuat kami semakin membulatkan tekad untuk kembali menjalani hubungan jarak jauh (LDM/Long Distance Marriage).
Tentunya kepulangan ini sudah mengalami pertimbangan yang matang. Bahkan sudah kami persiapkan sejak tahun 2018. Namun secara teknis memang terkesan mendadak.
Realistis
Sebagai keluarga yang memiliki anak cukup banyak, kami mencoba realistis dalam mengambil keputusan. Apakah sebuah keputusan diambil benar-benar murni untuk memperoleh kebaikan bersama atau hanya ego sesaat.
Salah satu hal yang menjadi pertimbangan real kami adalah perihal uang. Manakah yang lebih hemat ketika kami hidup bersama hingga kelulusan atau hidup berjarak. Setelah dihitung-hitung, sebenarnya sama aja. Cuma beda tipis 😂.
Tiba-tiba Banyak Drama
Dimasa-masa penuh pertimbangan ini, entah kenapa tiba-tiba kami merasa memperoleh begitu banyak skenario drama kehidupan 😅. Mulai dari drama kompor ga bisa mati saat suami sedang di Kanada, drama lupa matiin kompor sampe rumah nyaris kebakaran, drama Zaynab eczema, drama zazi gores mobil tetangga dan kami ganti rugi sebesar $600, hingga drama keluarga dekat (pamannya suami) kami meninggal 2 orang.
Drama yang terakhir inilah yang akhirnya membuat saya memutuskan memantapkan diri berkata:
"Kayanya ini pertanda kita disuruh pulang ke Indonesia deh!"
Bukan karena saya merasa dipaksa, tapi benar-benar lebih ke 'perenungan' gitu lho. Kondisi dimana kita merasa kok ya banyak kejadian yang ngegiring kita untuk selalu mikirin satu hal. Dalam kasus kami, satu hal nya adalah pulang ke tanah air.
Mama Mertua
Tinggal di daerah rawan banjir seorang diri, merupakan faktor pendorong mempercepat kepulangan ke Indonesia.
Sebenarnya orang-orang sekitar mertua ada. Tetangga alhamdulillah baik2. Pun sebelah rumah mertua masih rumah adik dan kakak dari mama mertua.
Namun, karena kerabat yang meninggal merupakan suaminya bibi. Yang mana beliaulah selama ini satu-satunya laki-laki yang masih kuat untuk melakukan ini itu untuk keluarga di Baleendah, terutama ketika banjir datang. Jadilah membuat kami semakin galau. Artinya hanya tersisa Uwa yang sudah renta laki-lakinya. Kalo terjadi apa-apa? Amerika itu jauh. Ga bisa pulang mendadak dan butuh waktu 2 hari baru sampe ke Indonesia.
Selain itu, kondisi kesehatan mama mertua juga agak kurang stabil. Semakin membuat kami tidak terlalu menikmati kehidupan di rantau seperti tahun sebelumnya. Ya inilah mungkin yang dinamakan cara Allah ngasih petunjuk ya. Karena kan yang menghadirkan pemikiran untuk pulang, tentunya Allah. Dan alhamdulillahnya udah di tahun akhir kuliah. Kalo tahun awal? Ga kebayang bakal kaya gimana ☹️.
Meluruskan Niat
Meskipun niat awal pulang dipercepat karena karena ingin berbirrul walidain, kami tetap harus meluruskan niat. Khawatirnya kalo niat salah, malah bikin kecewa dan jadi ga ikhlas dengan keputusan yang sudah diambil. Salah satu caranya biar lurus niat, dengan melihat berbagai macam konsekuensi logis yang akan kami hadapi sesampai di Indonesia. Apa sajakah itu?
1. Sekolah anak-anak
Mempercepat kepulangan artinya memberhentikan sekolah ZaZi sebelum waktu liburan tiba. Ada rasa sedih bercampur kasihan. Karena ZaZi tengah menikmati sekali bersekolah disini. Terlebih mereka sudah kelas 1 SD. Ya Allah ... Sedih kalo harus mengingat-ingat ini. Semoga ZaZi bisa memperoleh pengalaman belajar lebih baik di Indonesia.
Hingga saat ini saya belum bisa bercerita banyak tentang pilihan pendidikan ZaZi. Opsi homeschooling masih menduduki peringkat pertama 😅. Dan kegalauan hati karena karena sekolah ZaZi ini sudah saya persiapkan agar kuat mental hiks. Doakan ya ...
2. Adaptasi anak-anak, jiwa dan raga
Perubahan cuaca dan iklim dari negara 4 musim ke negara tropis, anak-anak tentu butuh waktu adaptasi fisik. Perubahan iklim sosial pun membuat anak-anak cukup terkaget melihat perbedaan yang ada antara Amerika dan Indonesia. Dan tentunya kami harus bersiap untuk hal ini.
Benar saja, minggu awal di Indonesia, anak-anak-anak bergantian diare dan demam. Memasuki musim penghujan, mereka mengalami batuk kering disertai demam juga secara bergantian. Drama anak sakit di rantau vs saat LDM itu beda sensasinya 😅
3. Domisili
Mempercepat kepulangan saya dan anak-anak artinya, suami belum selesai kuliah. Belum Ph.D. artinya, setelah ke Indonesia, suami harus kembali ke US. Artinya lagi, kami harus memikirkan pilihan domisili saat LDM.
Disinilah niat mulia birrulwalidain diuji. Setelah 1 minggu bersama mertua, kami pun bertolak ke Payakumbuh (rumah orang tua saya). Rumah mertua yang langganan banjir, di musim panas jadi kekeringan. Dampaknya, anak-anak diare karena kekurangan air bersih dan mungkin karena adaptasi cuaca dan dan lingkungan juga.
Alhamdulillah kondisi mertua stabil dan support kuliah anaknya kelar cepat. Sehingga segala macam bentuk keputusan kami beliau dukung. Paling tidak jika terjadi apa-apa, saya sudah di Indonesia dan bisa dengan cepat ke Bandung ketimbang kalo saya masih di US . Ya kan?
4. Disertasi
Konsekuensi pulang cepat yang harus dihadapi berikutnya yaitu, pengerjaan disertasi suami yang dilakukan selama perjalanan dan di Indonesia. FYI, suami mengerjakan disertasi di Payakumbuh selama 3 minggu. Kenapa di Payakumbuh? Karena syarat pulang cepat yang saya ajukan yaitu, LDM jangan terlalu lama. Dan solusinya dengan memastikan sebelum pulang ke Indonesia apakah komite mengizinkan suami mengerjakan disertasi di Indonesia dengan meeting jarak jauh.
Dan alhamdulillah diizinkan 😃
September Ceria, September ke Indonesia!
Meski sudah memutuskan pulang dipercepat, kami saat itu belum memutuskan akan pulang bulan apa. Di akhir tahun 2018 kami sempat mewacanakan pulang di bulan Mei 2019 dengan harapan ZaZi bisa sekolah SD di bulan Juli. Namun rencana itu tidak bisa terlaksana karena suami tidak memungkinkan perjalanan jauh di bulan tersebut.
Selain itu, bulan Mei merupakan bulan dimana eczema Zaynab masih meradang parah. Fokus kami saat itu hanya ke penyembuhan Zaynab. Sehingga hilanglah wacana pulang bulan Mei.
Memasuki akhir Juni, tiba-tiba suami menginfokan bahwa dia bisa ke Indonesia bulan November untuk menghadiri conference. Sehingga kami wacanakan pulang bulan November 2019. Saya pun tidak keberatan karena hanya beda 1 bulan dari kelulusan.
Tak lama berselang, ternyata paper suami juga diterima panitia conference di Jakarta. Dan bulan pelaksanaan conferencenya adalah bulan September. Saya pun keberatan jika pulang bulan September. Karena terlalu lama dari bulan kelulusan. Ditambah saat itu suami masih belum seminar proposal. Sehingga susah untuk saya optimis suami bisa lulus bulan Desember.
Disaat kami masih belum memutuskan kapan akan pulang, bulan Juni atau Juli dalam 2 minggu berturut-turut kami memperoleh berita duka seperti yang saya ceritakan di atas. Disaat itulah saya berfikir bahwa, oh mungkin ini momen yang Allah kasih. Bismillah, dengan segala macam kemungkinan, kami pun memutuskan pulang di bulan September.
Perlahan Melihat Cercah Harapan
Semua berlalu begitu cepat. Saya tidak bisa menggambarkan rincinya bagaimana. Seingat saya, justru pasca kami memutustkan pulang bulan September, satu persatu timeline studi suami terlaksana.
Target seminar proposal yang tadinya bulan Agustus sempat sirna, melihat secercah harapan. Bagaimana ga pesimis. Suami baru candidacy bulan Mei 2019. Agak mustahil jika seminar proposal dilakukan 3 bulan setelahnya. Melihat dari pengalaman teman-teman mahasiswa Indonesia lain, paling cepat jarak antara candidacy dengan seminar proposal yaitu 6 bulan. Bahkan ada yang 1 tahun atau lebih.
Alhamdulillah, sebelum akhirnya pulang, suami memperoleh jadwal seminar di bulan September awal. Tadinya kami sempat deg-degan. Jika sebelum pulang suami belum seminar, maka kemungkinan lulus Desember yang tadinya 80% bisa merosot jadi 1%. Yangmana 1% itu adalah takdir. Artinya, akan ada kemungkinan kami LDM cukup lama ☹️.
Saya deg-degan takut LDM. Suami deg-degan nya banyak. Takut LDM iya, takut bayar uang kuliah sendiri pun iya 😅.
Itulah mungkin hadiah dari Allah karena niat mau birrulwalidain hehehe. Jadinya dilancarin studi 😍. Alhamdulillah tsumma alhamdulillah.
LDM Babak 3
Ya! Pasca saya dianter pulang ke Indonesia bulan September, bulan Oktober kami pun memasuki babak ketiga LDM. Doyan amat ya LDM 😅. Itulah tadi yang saya katakan berhenti sesaat.
Berhenti sesaat dari rutinitas bersama. Hidup terpisah. Asal jangan terlalu lama. Karena khawatir keenakan kaya saya keenakan ga ngeblog 😂😂. Kan bahayaaaa
Ya begitulah. Live must go on kalo kata orang. Suami harus lulus tepat waktu kalo ga mau LDM lama-lama. Artinya, disertasi harus kelar. Riak-riaknya bikin banyak berdoa. Ya itulah tujuan Allah ngasih kita riak kehidupan.
Sebelum balik ke US, disertasi suami sempat diobrak-abrik lagi pasca hasil revisi seminar dikembalikan komite ke suami. Saya aja stres. Apalagi suami. Raga suami di Payakumbuh. Tapi jiwanya sama disertasi 😂😂. Sampai akhirnya balik US, diperjalanan pun laptop jadi kekasihnya 🙈. Demi submit ontime ke komite agar memperoleh kejelasan apakah bisa final exam atau ...
Alhamdulillah, minggu awal November kami sudah memperoleh kejelasan timeline. Kapan pre exam, kapan final exam. Tapi, potensi gagal itu ada. Jika pre exam gagal. Final exam ga akan jadi 😭. Alhamdulillah semua terlewati. Yaitu resmi Ph.D atau doktor per tanggal 3 Desember 2019.
S2 dan S3 Tak Wisuda
Karena wisuda itu tak selamanya pas sama timeline kita 😅.
Jaman S2, di Ohio University jadwal wisuda hanya 2 kali dalam 1 tahun, yaitu bulan Mei dan Desember. Sedangkan suami lulus bulan Agustus. Bisa sih dikondisikan lulus Desember untuk wisuda. Toh masih ada hak dari beasiswa. Tapi, family is numero uno 🙈. Alias udah kangen keluarga. Apalagi dari nikah bisa dikatakan kami hanya bersama 8 bulan doank. Ya pasti kangenlah 😢
Begitu juga dengan S3. Ujiannya luar biasa.
Bisa. Bisa banget kalo suami mau wisuda. Peluang besar banget bahkan bisa bantu kita nambah pundi-pundi tabungan. Namun ternyata kami ga bisa bohong. Family is numero uno 😅. Terutama anak-anak udah besar kaya sekarang. Rapuh kami sekeluarga di LDM babak 3 ini. Hingga akhirnya, lagi-lagi pak Topik ga wisuda 😢.
Yang sedih saya. Yang merasa bersalah saya. 😔😟 Suami? Alhamdulillah santai kaya di pantai. Saya hanya berdoa semoga Allah kasih pengganti kisah yang lebih indah. Aamiin.
Demikian
Ya begitulah catatan akhir tahun saya. Meski sudah di Indonesia dari bulan September, tapi karena suami baru pulang dari US tanggal 24 Desember kemaren, jadi saya pun merasa baru pulang 😂. Lebih tepatnya baru akan bersiap menghadapi kehidupan pasca rantau yang sebenarnya. Karena 3 bulan kemaren hanyalah masa transisi dimana kami belumlah bertransformasi secara utuh sebagai 1 keluarga.
Semoga cerita panjang ini ada hikmahnya 😅.
Setiap keputusan yang diambil secara sadar, in sya allah bikin kita jadi bisa melihat lebih dalam hikmahnya. Dan bikin bersyukur banyak. Ya meski tetap sih saya masih rindu Columbus. Ga boong kalo saya reverse culture shock 🙈 sampe sekarang 😂😂.
Payakumbuh, 1 Januari 2020
Seru ya teh merantau sambil ngurus bocah..semoga one day, saya dikasih kesempatan juga nyicip tinggal di negri 4 musim hehe
BalasHapusAlhamdulillah Hana ... Aamiin in sya Allah one day diwaktu yg terbaik ... Makasi ya udah mampir ke blog aku 🤗🤗
Hapus