Seperti yang sudah saya niatkan di
tulisan sebelumnya, saya akan rutin menuliskan kisah inspiratif versi saya, baik yang berasal dari seorang tokoh ataupun dari sebuah peristiwa atau kejadian. Kenapa menambah menu dengan rubrik
Inspirasi Hari ini? Tak lain dan tak bukan hanya karena saya sedang tak terinspirasi apapun dengan apa yang sedang saya alami saat ini di kehidupan saya hehehe. Tingkat narsisme saya agak sedikit menurun sedangkan saya merasa tetap butuh memotivasi diri agar terus berkarya, meski karya kecil sejenis menulis blog seperti ini.
Selain itu, saya berharap dengan adanya kisah singkat inspirasi hidup versi saya ini bisa membuat saya khususnya, dan teman-teman pembaca umumnya untuk lebih bisa membuka mata hati menerima insipirasi dari sekitar kita.
Kenapa?
Ya barangkali ini hanya menimpa diri saya terutama semenjak kehadiran media sosial, dimana saya terlalu berfokus pada kehidupan saya sendiri dan inginnya semua atensi tertuju hanya pada saya atau keluarga. Bahkan tak jarang ketika memperoleh sebuah masalah, saya sering merasa menjadi orang yang paling menderita sedunia hahaha. Hingga saya pun sempat terperangkap pada sebuah capaian semu atas nama like, comment dan share ala-ala media sosial wkwkwkwk. Seolah hanya gue gitu loh yang bisa menginspirasi hufft #capedehya
Apakah itu salah? Bagi saya? Iya! Karena tujuan awal saya membuka akun sosial media tak lain dan tak bukan adalah sebagai media penghubung kehidupan bersosial baik dengan rekanan lama ataupun baru, baik yang sudah kenal lama dan sering bertatap muka atau sekedar kenalan baru di dunia maya. Bukan malah mengharap apresiasi dan pengakuan dari khalayak dunia maya yang sekarang dikenal dengan sebutan netizen belaka huhuhuhiks.
Dan ketika kabar berkabar itu sudah terpenuhi melalui saling sapa lewat update status atau posting foto terbaru dari aktivitas kita, kebiasaan sosial baru di lingkup media sosial berupa apresiasi berupa like, share dan comment itu menggantikan esensi dari kabar berkabar itu sendiri ... dan saya pun agak sedih menerima kenyataan ini. Sehingga prilaku baru yang terbentuk di dunia sosial media ini seolah menghakimi para pengguna media sosial yang 'pelit' like, share dan comment sebagai manusia sombong yang tidak menjaga hubungan baik. Tak sedikit lho yang rusak hubungan pertemanan dan kekerabatan karena hal ini yang berawal dari prasangka-prasangka.
Atas dasar kegelisahan inilah, yang memang mungkin hanya menimpa saya karena kerdilnya jiwa saya, saya memilih mundur teratur dari hiruk pikuk sosial media terutama Facebook. hehehe. Kenapa hanya facebook? Karena pertemanan facebook saya sudah kadung beragam. Berita yang masuk timeline tak lagi info dan kabar dari teman-teman terdekat saya melainkan dari orang-orang asing atau orang yang tak terlalu saya kenal secara personal sebelumnya. Hiks. Yang ternyata menyumbang sedikit banyaknya hal-hal negatif pada diri saya.
Sehingga, di masa-masa redefinisi penggunaan media sosial versi saya ini, saya memilih berfokus
Saya akan memulai menuliskan kisah inspiratif yang datang dari seorang mahasiswi doktoral di sebuah universitas di Amerika Serikat. Tepatnya mahasiswa doktoral jurusan Health Behaviour di Universitas Indiana, Bloomington.
Saya mengenal beliau dari sebuah komunitas muslim Indonesia di Amerika bernama IMSA. Salah satu program yang dilakukan IMSA ini adalah memfasilitasi seluruh warga muslim Indonesia yang hendak melanjutkan halaqoh rutin mereka di perantauan negeri Paman Sam ini. Di Indonesia kita kenal dengan istilah halaqoh atau liqo. Melalui program inilah saya dan mba X (beliau ingin identitasnya disamarkan, masha Allah) berkenalan meski hanya melalui media teleconference.
Pada masa awal perkenalan, saya mengetahui bahwa mba X ini lanjut studi PhD atau doktoralnya dalam kondisi hamil trimester pertama (kalo saya tidak salah ingat 😆). Sedangkan suaminya belum bisa langsung mendampingi karena tengah menempuh studi juga di salah satu universitas negri di Indonesia.
Tadinya saya berfikir ya memang sudah konsekuensi atas pilihannya mba X dengan kondisi seperti ini. Jika kondisi itu terjadi pada saya, jujur saja saya tidak akan ragu untuk memilih zona nyaman alias menunda untuk lanjut studi terlebih dahulu. hehehe. Memang daya juang saya kurang sih wkwkwk, terbukti dengan berhentinya saya melanjutkan studi S2 saya pasca hamil si kembar #nyengir.
Sebagai individu yang susah tergugah dan terinspirasi, saya melihat perjuangan mba X ini sebatas perjuangan biasa yang wajar. Ya mungkin karena saya belum bertemu langsung dengan orangnya juga kali ya. Dan saat itu saya beranggapan bahwa pasca lahiran mba X akan segera ditemani sang suami. Karena saya dengar, suami dan Ibu beliau datang ke Amerika saat mba X detik-detik mau lahiran. Nah disitu saya pikir tadinya bakal ditemenin terus sampe beres studi. Tapi ternyata anggapan saya ini salah besar.
Alhamdulillah bulan September yang lalu saya akhirnya bisa silaturahim dan bertemu langsung dengan mba X ini. Dan terkagetlah saya mengetahui bahwa mba Ummu ternyata hanya berdua dengan si kecil di negeri rantau negaranya Paman Sam ini. APAAAAAAAH????!
Iya. Jadi suami mba X dan Ibunya balik ke Indonesia lagi setelah beberapa waktu menemani mba X di fase awal peran baru menjadi Ibu. Karena harus menunaikan amanah sebagai mahasiswa juga, suami mba X harus kembali bertolak ke Indonesia. Begitu juga dengan Ibu mba Ummu yang tentunya tak bisa berlama-lama menemani (beberapa waktu lalu ibu mba X sudah kembali ke haribaan Allah ta'ala. Innalillahi wainnailaihi raji'un) Masya Allah ... fase yang sangat berat dalam pandangan saya.
Soalnya saya aja ditinggal belajar sama suami, kerasa berat banget. Lha ini? Ditinggal belajar sama suami, untuk belajar dan menjadi ibu juga plus cobaan hidup setelahnya atas kepergian Ibunda mba X. Masya Allah tabarakallah mba ...
Dengan segenap keterbatasan waktu karena saya hanya sebentar di Bloomington nya, kami pun bercerita sedikit. Dari sedikit cerita inilah saya memperoleh informasi yang menginspirasi tentang tantangan yang dihadapi mba X dalam berbagi peran sebagai seorang mahasiswa doktoral dan sebagai seorang ibu.
Jangankan mahasiswa doktoral ya ... sarjana atau master di Indonesia aja dalam keadaan beranak rasa rasanya beraaaaaaaat banget. Ini doktoral!!!
Sebagai istri dari seorang mahasiswa doktoral, saya merasa berhak untuk pahaaaaaaaaam betul seberapa beratnya amanah sebagai mahasiswa doktoral ini. Terlebih mba X ini adalah mahasiswa sains gitu. Bukan anak sosial kaya suami saya. Yang biasanya anak sains ada tambahan aktivitas nge-lab, jadi ga cuma kelas biasa kaya anak sosial. Dan biasanya juga, nge-lab suka ngambil waktu-waktu ga normal alias diluar jam kerja. Seperti weekend atau di atas jam 5.
Saya memang belum sempat cerita soal rutinitas mba X dalam keseharian sih. Tapi saat kami berjanjian ketemu, mba X sempet bilang sebelum ke apartemen tempat saya nebeng nginep, dia mau ngelaundry dulu. Terus malam hari sebelumnya, teman suami yang rumahnya kami tebengi juga sempet cerita, kalo mba X kemana-mana nyetir sendiri. Mulai dari belanja-belanja kebutuhan harian hingga ke rumah sakit jika si kecil sakit. Dan kata bu Y (saya belum izin ke beliau, jadi namanya juga disamarkan saja ya), temen suami saya, mba X ini tipe yang ga mau ngerepotin dan selagi bisa kerjain sendiri ya kerjain sendiri. Huwooooooo saya pun jadi mikir keras andai kondisi mba X saya yang alami 😥😥
Lanjut ngebahas soalan perannya sebagai mahasiswa doktoral. Bagi temen-temen yang udah pernah ngerasain jadi mahasiswa doktoral pasti kebayanglah ya hebohnya kaya gimana tugas-tugasnya. Saya kurang paham sih kalo doktoral di Indonesia kaya gimana. Tapi berkaca dari suami sendiri, tugas kuliah untuk satu mata kuliah dalam satu pertemuan saja sudah sangat menguras waktu dan pikiran.
Jurnal satu judul rata-rata berjumlah lebih dari 30 halaman. Nah untuk satu mata kuliah biasanya bisa sampe 10 jurnal untuk satu kali pertemuan. Artinya ada sekitar 300 halaman jurnal yang harus dibaca berikut resumenya. Itu baru satu matakuliah dan baru jurnal, beluk lagi textbook. Rata-rata satu semester di awal studi PhD, mahasiswa doktoral di Amerika harus mengambil sekitar 3-4 matakuliah.
Belum lagi minipaper sebagai tugas mingguan atau bulanan. Tentunya butuh waktu tak sedikit kan agar bisa menuntaskan amanah akademik ini. Hal-hal terkait akademik seperti ini, yang mungkin hanya dalam pandangan saya kali ya, yang kok rasanya udah habis aja ya waktu 24 jam cuma buat akademik. Gimana mau urus anaaaaak #sayayangmewek.
Jadilah saya bertanya disela obrolan kami karena saking penasarannya.
"Mba X, belajarnya kapaaaaan??"
Tanya saya penuh khawatir dan dengan wajah masih shock gitu.
"Ya di kampus sama kalo (mba X menyebutkan nama anaknya) lagi bobo aja mba Put", jawab mba X sambil nyengir kecil.
"Itu juga kalo lagi di depan laptop maksain ngerjain tugas tapi kalo anak belum bobo, ya dia ikut ngerecokin", tambah mba X lebih kurang begitu (seinget saya hehehe).
"Masya Allah....", gumam saya sambil geleng-geleng bengong mata melotot dan hidung kembang kempis lagi inhale exhale ceritanya (maap saya lebay 😆)
Berlanjut ke percakapan kecil kami, jujur saya ga berhenti terkagum-kagum atas keputusan yang diambil mba X ini. Sebuah keputusan yang cukup sulit tapi memang harus dijalani. Bersama si kecil, bayi mungil solehah yang kalo saya ga salah inget sekarang berusia 20 bulan. Tabarakallah naaaaak kamu usia dini jadi saksi hidup perjuangan mamah mu ... 😢😢😢 #haru
Dari kisah mba X ini saya makin tersentak akan sebuah keputusan 'ga logis' yang ternyata jadi harga mahal, katakanlah demikian, untuk menjemput sebuah kesuksesan. Kenapa harga mahal? Karena pengorbanannya menurut saya cukup menguras energi, pikiran, dan tentunya juga materi. In sya Allah semua akan berbuah manis, saya yakin itu.
Bertemu langsung dengan sosok mba X, saya seperti dihadirkan langsung potret calon orang terkenal bumi pertiwi beberapa tahun ke depan kelak. Entahlah ini berlebihan atau tidak. Dalam pandangan saya, menyaksikan sebuah perjuangan yang langka seperti ini menjadi pembuka jalan kesuksesan bagi sosok seorang mba X. Paling tidak beliau bisa menjadi role model bagi para wanita Indonesia yang ingin melanjutkan studi namun masih bimbang kendala keluarga.
Memang kesuksesan tidak melulu di akademik saja. Tapi jika teman-teman tengah ada yang gundah gulana ingin studi tapi kok ya ga mungkin karena mungkin salah satunya soal anak, bisa jadi kisah mba X ini menginspirasi.
Karena kita tak bisa mengatur ritme hidup kita melainkan Allah lah yang memainkannya. Seperti halnya mba X yang tak pernah menduga akan diamanahi keturunan secepat itu disaat dia sudah memperoleh kesempatan kedua lanjut studi di Amerika melalui jalur beasiswa. Rezeki seolah datang berbarengan. Dimana amanah keturunan dan amanah jihad ilmu diberikan dalam waktu yang bersamaan.
Oh ya, kabar gembiranya, in sya Allah suami mba Ummu akan datang menemani bulan Desember ini. Semoga segera berkumpul kumplit ya mba ... 🤗🤗🤗
Dari saya segini dulu saja.
Semangat baruuuuuu!!!!
Okeh! Ga ada alasan lagi ya Puuuut buat mempertanyakan ke Allah "Ya Allaaaah ko saya ga maju maju yaaaaa ... gini gini ajaaaaa. Pinter engga, males iya bla bla bla" dan lain sebagainya.
Sebelum mempertanyakan ke yang Kuasa, fokus dulu deh Put dalam menggenapkan ikhtiar-ikhtiar fisikmu .... (ngomong ke diri sendiri 😆)
Terakhir, saya berdoa semoga bisa bertemu sosok dan kisah inspiratif lain secara langsung alias ga dari sosial media hehehehe 😆✌
Columbus, 20 Oktober 2018
Nb: Tulisan ini pernah dipublikasikan pada tanggal 20 Oktober 2018 dengan menyebutkan identitas mba X. Atas permintaan mba X, artikel ini sempat saya unpublished untuk menyamarkan nama mba X. Dan tulisan kembali diterbitkan pada tanggal 3 Februari 2019.