Judul tulisannya kebaca ya kalo yang nulis lagi galau. Padahal ga galau-galau amat sih 😆
Alhamdulillah 5 Juli kemaren Zaid dan Ziad sudah 5 tahun menghiasi kehidupan saya, suami dan keluarga beserta karib kerabat sekitar. Gimana rasanya punya anak udah 5 tahun? Asli saya sering nangis akhir-akhir ini. Terbukti apa yang dibilang orang-orang, kalo kita bakal merindu anak jaman bayi saat mereka udah masuk usia 5 tahun 😔. Jadi rasanya ya bikin saya rada melow aja 😆
Tapi semelow apapun saya, rasanya melihat perkembangan mereka saat ini tak hentinya membuat saya terus berucap syukur. Paling tidak, karena merekalah saya bisa bertumbuh menjadi Ibu yang mampu melihat kelebihan dibalik kekurangan.
Mengikuti tumbuh kembang mereka dari awal lahir hingga berusia 5 tahun full 24 jam 7 hari, cukup membuat saya menjadi semakin sadar hakikat seorang ibu.
Dimulai dari fase-fase drama menyusui tandem, mendapati perkembangan mereka yang selalu saja lebih belakangan dari anak seusia mereka, hingga akhirnya saya menyadari bahwa keterlambatan demi keterlambatan tumbuh kembang mereka terutama dalam hal verbal ternyata memiliki hikmah yang sangat berharga.
Apa?
Bahwa sabar dan ikhlas adalah kunci utama yang harus dimiliki untuk menjadi orang tua. Diluar itu? Hanyalah hadiah dan kemudahan yang diberikan Allah kepada kita orang tua untuk menutupi kelemahan dan keterbatasan yang ada.
Karena jika kita terus meminta sesuatu yang sempurna, tentunya tak bisa kita belajar bagaimana hidup mengharga.
Karena jika kita terus mendamba serba bisa, kapan kita bisa mengenal yang namanya usaha.
Sudah. Allah sudah sangat indah mengatur semua. Dan anak-anak menjadi jalan pembuka mata, hati dan pikiran saya dalam memaknai perjalanan saya sebagai seorang ibu, sebagai orang tua.
Lalu, setelah mendampingi 2 anak usia dini sekaligus dan sekarang mereka memasuki usia sekolah, saya manusia kembali dilanda galau. Pendidikan seperti apa yang akan saya tempuh untuk anak-anak agar mereka bisa meniti puncak sukses kehidupan mereka, di dunia dan akhirat?
Homeschooling aja gitu? 😆 Nah ini dia sumber galau berikutnya ...
5 tahun membersamai si kembar, sudah lebih dari cukup buat saya mengenal karakter dasar, gaya belajar, dan cara mereka bersosial. Dan semua info terkait anak-anak ini tentunya jadi bahan timbang menimbang yang saya lakukan dengan suami terkait pilihan pendidikan untuk mereka, terutama setelah balik ke Indonesia. Jika mereka bersekolah di sekolah umum gimana, sekolah swasta gimana, sekolah tahfidz gimana, sekolah di rumah gimana? Untuk Ziad seperti apa, untuk Zaid yang bagaimana.
Lho memang mereka akan dibedakan sekolahnya? Bisa iya bisa tidak.
Meskipun kembar, Zaid dan Ziad memiliki karakter dasar yang sangat berbeda. Gaya belajar mereka pun jauh berbeda. Jika Ziad memiliki free style learning, maka Zaid adalah on rules style learning. Jadi, bisa dikatakan Ziad cocok di sekolah sejenis homeschooling, kalo Zaid cocok aja di sekolah umum.
Tapi, aplikasi pembedaan sekolah anak-anak tentu tak semudah itu ya. Perlu dipikirkan masak-masak 😄 tapi ya jangan sampe gosong juga. Sehingga saya mencoba mencari satu benang merah kesamaan mereka yang bisa saya gunakan dalam menentukan pilihan pendidikan ini. Apakah itu? Brainatorming.
Yup! Si kembar sama-sama suka brainstorming. Mereka suka diskusi. Mereka suka diajak mikir. Meski tetap dengan gaya dan cara respon masing-masing.
Dengan kesamaan ini, paling tidak untuk waktu satu tahun ke depan, sebelum pulang ke Indonesia, saya masih punya waktu membangun diskusi dan kesamaan visi dengan anak-anak terkait pilihan pendidikan untuk mereka kelak. Sembari menikmati kurikulum TK disini, sembari mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan terkait homeschooling mereka andai homeschooling menjadi pilihan, sembari terus mencari informasi perihal pilihan-pilihan pendidikan formal informal di Indonesia.
Semoga saya bisa lebih menikmati proses galau ini, tanpa dirongrong khawatir anak akan tertinggal dari anak lain. Sudah cukup pengalaman 5 tahun ini memberi pelajaran kepada saya bahwa tak ada anak yang lebih baik dari anak lain. Karena setiap anak, setiap manusia, itu unik. Maka sebaiknya saya berfokus menemukan dan mengembangkan keunikan tersebut agar bisa mendampingi mereka menjemput kebermanfaatan mereka untuk umat. Aamiin ...
Segitu aja tulisan galau saya. Temen-temen yang baca boleh donk share pilihan pendidikan yang temen-temen putuska untuk anak apa?
Columbus, 8 Juli 2018
Alhamdulillah 5 Juli kemaren Zaid dan Ziad sudah 5 tahun menghiasi kehidupan saya, suami dan keluarga beserta karib kerabat sekitar. Gimana rasanya punya anak udah 5 tahun? Asli saya sering nangis akhir-akhir ini. Terbukti apa yang dibilang orang-orang, kalo kita bakal merindu anak jaman bayi saat mereka udah masuk usia 5 tahun 😔. Jadi rasanya ya bikin saya rada melow aja 😆
Tapi semelow apapun saya, rasanya melihat perkembangan mereka saat ini tak hentinya membuat saya terus berucap syukur. Paling tidak, karena merekalah saya bisa bertumbuh menjadi Ibu yang mampu melihat kelebihan dibalik kekurangan.
Mengikuti tumbuh kembang mereka dari awal lahir hingga berusia 5 tahun full 24 jam 7 hari, cukup membuat saya menjadi semakin sadar hakikat seorang ibu.
Dimulai dari fase-fase drama menyusui tandem, mendapati perkembangan mereka yang selalu saja lebih belakangan dari anak seusia mereka, hingga akhirnya saya menyadari bahwa keterlambatan demi keterlambatan tumbuh kembang mereka terutama dalam hal verbal ternyata memiliki hikmah yang sangat berharga.
Apa?
Bahwa sabar dan ikhlas adalah kunci utama yang harus dimiliki untuk menjadi orang tua. Diluar itu? Hanyalah hadiah dan kemudahan yang diberikan Allah kepada kita orang tua untuk menutupi kelemahan dan keterbatasan yang ada.
Karena jika kita terus meminta sesuatu yang sempurna, tentunya tak bisa kita belajar bagaimana hidup mengharga.
Karena jika kita terus mendamba serba bisa, kapan kita bisa mengenal yang namanya usaha.
Sudah. Allah sudah sangat indah mengatur semua. Dan anak-anak menjadi jalan pembuka mata, hati dan pikiran saya dalam memaknai perjalanan saya sebagai seorang ibu, sebagai orang tua.
Lalu, setelah mendampingi 2 anak usia dini sekaligus dan sekarang mereka memasuki usia sekolah, saya manusia kembali dilanda galau. Pendidikan seperti apa yang akan saya tempuh untuk anak-anak agar mereka bisa meniti puncak sukses kehidupan mereka, di dunia dan akhirat?
Homeschooling aja gitu? 😆 Nah ini dia sumber galau berikutnya ...
5 tahun membersamai si kembar, sudah lebih dari cukup buat saya mengenal karakter dasar, gaya belajar, dan cara mereka bersosial. Dan semua info terkait anak-anak ini tentunya jadi bahan timbang menimbang yang saya lakukan dengan suami terkait pilihan pendidikan untuk mereka, terutama setelah balik ke Indonesia. Jika mereka bersekolah di sekolah umum gimana, sekolah swasta gimana, sekolah tahfidz gimana, sekolah di rumah gimana? Untuk Ziad seperti apa, untuk Zaid yang bagaimana.
Lho memang mereka akan dibedakan sekolahnya? Bisa iya bisa tidak.
Meskipun kembar, Zaid dan Ziad memiliki karakter dasar yang sangat berbeda. Gaya belajar mereka pun jauh berbeda. Jika Ziad memiliki free style learning, maka Zaid adalah on rules style learning. Jadi, bisa dikatakan Ziad cocok di sekolah sejenis homeschooling, kalo Zaid cocok aja di sekolah umum.
Tapi, aplikasi pembedaan sekolah anak-anak tentu tak semudah itu ya. Perlu dipikirkan masak-masak 😄 tapi ya jangan sampe gosong juga. Sehingga saya mencoba mencari satu benang merah kesamaan mereka yang bisa saya gunakan dalam menentukan pilihan pendidikan ini. Apakah itu? Brainatorming.
Yup! Si kembar sama-sama suka brainstorming. Mereka suka diskusi. Mereka suka diajak mikir. Meski tetap dengan gaya dan cara respon masing-masing.
Dengan kesamaan ini, paling tidak untuk waktu satu tahun ke depan, sebelum pulang ke Indonesia, saya masih punya waktu membangun diskusi dan kesamaan visi dengan anak-anak terkait pilihan pendidikan untuk mereka kelak. Sembari menikmati kurikulum TK disini, sembari mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan terkait homeschooling mereka andai homeschooling menjadi pilihan, sembari terus mencari informasi perihal pilihan-pilihan pendidikan formal informal di Indonesia.
Semoga saya bisa lebih menikmati proses galau ini, tanpa dirongrong khawatir anak akan tertinggal dari anak lain. Sudah cukup pengalaman 5 tahun ini memberi pelajaran kepada saya bahwa tak ada anak yang lebih baik dari anak lain. Karena setiap anak, setiap manusia, itu unik. Maka sebaiknya saya berfokus menemukan dan mengembangkan keunikan tersebut agar bisa mendampingi mereka menjemput kebermanfaatan mereka untuk umat. Aamiin ...
Segitu aja tulisan galau saya. Temen-temen yang baca boleh donk share pilihan pendidikan yang temen-temen putuska untuk anak apa?
Columbus, 8 Juli 2018
Post Comment
Posting Komentar
Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗