Seperti yang pernah saya tuliskan dalam tulisan saya sebelumnya. Amerika membuat kami (saya, suami dan beberapa teman) disini seperti berada di dunia mimpi dan dikelilingi fatamorgana. Dan tampaknya hal ini juga dirasakan oleh teman-teman lain yang merantau ke negara-negara maju lain seperti di Eropa atau mungkin Jepang.
Entah karena kemajuan teknologinya, ketertiban peradabannya atau karena keramahan penduduknya membuat kami para perantau di benuanya negara-negara maju seolah sedang berada di negeri dongeng, negeri mimpi yang penuh fatamorgana.
Tidak hanya itu, suplai dana yang bukan berasal dari kantong sendiri tampaknya juga cukup membuat kami 'terbuai' makin dalam di negeri mimpi ini. Hidup seolah tak nyata karena biaya selalu tersedia. Tidak seperti di Indonesia, dimana kami perlu bekerja sekuat tenaga demi biaya hidup sekeluarga.
Ada perbedaan yang pada hakikatnya adalah kesamaan. Katakanlah biaya beasiswa yang hakikatnya adalah gaji. Terlihat berbeda tapi pada dasarnya sama. Sama-sama biaya untuk menghargai jerih payah kita dalam mengabdi untuk negara. Perbedaannya mungkin terletak pada jenis jasanya. Dimana memang tingginya pendidikan bisa mempengaruhi tingginya 'penghargaan' yang diberikan pada seseorang.
Meskipuuuuun ... ketika para 'buruh ilmu' ini kembali mengabdi dan kemudian menjadi pegawai dan sejenisnya, nilai penghargaan yang didapat belum tentu akan sebanyak ketika mereka sedang menempuh studi. Dan plis jangan tanya ke saya kenapa 😂😂😂😂.
Jujur, saya dan juga suami menilai untuk bagian pembiayaan beasiswa yang diberikan negara melalui LPDP sebenarnya tidak bisa juga dikatakan lebih. Apalagi bagi kami yang belum memiliki gaji tetap di tanah air (belum memiliki homebase) sendiri. Jika tidak berfikir kedepan, ya bisa-bisa saja kami 'berfoya', tapi siap-siap, pulang kampung tanpa membawa tabungan.
Jadi jika fatamorgana yang saya sebutkan terkait soal funding beasiswa, jawaban saya tergantung kondisi penerima beasiswa itu sendiri. Untuk kami sekeluarga, beasiswa bukanlah fatamorgana. Beasiswa tak memberi begitu banyak harapan untuk kemudian menggunakannya agar bisa melancong keliling Amerika. Nei nei nei big nei 😂
Lalu fatamorgana apa yang sebenarnya membuat saya mengkhawatirkan adaptasi diri terhadap kehidupan disini yang ketika dibawa ke Indonesia bisa jadi bikin saya culture shock? Hmmmm Apa ya? 😆
Pemikiran akan fatamorgana yang sifatnya melenakan ini muncul setelah saya membaca sebuah treat di akun Instagramnya Jouska yang berkisah tentang si Broodie selebgram. Pada tau ga kisahnya? Eh tapi saya ga akan mengulas apa yang Jouska ulas ya hehehe. Saya hanya kepikiran soal standar keterjangkauan.
STANDAR KETERJANGKAUAN
Maksudnya apa?
Di Amerika, perbandingan keterjangkauan terhadap suatu barang (daya beli) meningkat dibanding ketika di Indonesia. Dan pun ketika standar keterjangkauan ini saya bawa ke Indonesia namtinya, saya hanya akan khawatir kalo-kalo saya berubah menjadi borjuis dan konsumtif ... Astaghfirullah ...
Kok bisa?
Belanja produk-produk branded disini bisa didapatkan dengan harga yang sangat terjangkau. Meski ketika di konversi ke rupiah masih sangat mahal untuk sekedar membeli sepatu atau baju. Lha wong di Indonesia saya paling mahal beli sepatu seharga 150 ribu. Sedangkan disini beli sepatu 30 dolaran alias 400 ribu terasa murah, nah lho? Ribet kan? 😅
Ribet kalo standar belanjanya kebawa-kebawa sampe kampung halaman. Padahal saya bukan tipe pembeli barang-barang branded. Tapi karena disini 'terjangkau', siapa yang ga mau melewatkan kesempatan langka ini.
Contoh lain misalkan produk skincare 🙈. Membeli satu jenis produk skincare harga $20-an untuk dipakai selama 6 bulan lebih kurang terasa sangat terjangkau. Coba dikonversi ke rupiah, 300 ribuan untuk sebuah skincare bagi saya adalah pemborosan meskipun produk tersebut bisa dipakai dalam jangka waktu yang cukup panjang. Kenapa? Karena harga segitu baru untuk satu jenis produk. Belum produk lainnya yang bisa-bisa untuk 1 step standar skincare saja bisa menghabiskan kocek satu juta lebih sekali belanja. NOoooooo!!! (Sehingga untuk skincare saya pun agak sedikit menutup mata dalam meng'upgrade' kebutuhan kulit. Pake yang terjangkau aja deh 😂)
"Hidup dalam fatamorgana". Dimana bukan standar kemewahan yang meningkat, tapi standar keterjangkauan yang bertambah. Kenapa? Karena daya beli terhadap sebuah benda yang jika di konversi ke rupiah dijamin tidak akan pernah kami untuk membelinya. Makanya, bagi saya Amerika adalah negri 1000 mimpi. Bukan sekedar mimpi dalam mencapai cita, namun mimpi dalam menatap benda #aliasbelanja 😂😂
Tapi, fatamorgana hidup di Amerika sesungguhnya tidak hanya sebatas hitung-hitungan uang. Banyak hal sehingga mungkin hal ini tidak akan pernah atau belum tentu kami dapatkan ketika hidup di Indonesia nanti.
Nah berikut ini, fakta dari sebuah fatamorgana hidup khusus wilayah Columbus, negara bagian Ohio yang tampaknya akan membuat saya rindu untuk kembali ke negri 1000 mimpi ini.
TERTIB LALU LINTAS
Kota Columbus meskipun menurut pandangan beberapa orang teman tidaklah demikian, tapi menurut saya termasuk surganya pengendara. Surga dalam artian, kendaraan lalu lalangnya bikin adem. Selain jumlah kendaraan yang tidak banyak, pengguna jalan rayanya juga tertib. Mulai dari pejalan kaki, pesepeda, pengendara motor sampai pengendara mobil. Sampai-sampai, kalo kita melakukan sebuah pelanggaran lalu lintas kok ya kayanya bakal maluuuuuuu banget. Plus dendanya ga kuat brooooo 😅.
Dan perihal tertib lalu lintas ini memang berbeda-beda di setiap kota dan negara bagian Amerika ya. Makanya saya hanya mengulas kota kecil Columbus aja. Hehehe.
ALAM HIJAUNYA YANG MENAWAN
Kesan pertama saya ketika mendarat di Columbus, "Wow, hijau bangeeeeet". Saking masih banyaknya wilayah hijau di kota ini. Dan saya suka!!! Tidak perlu repot memikirkan destinasi wisata alam layaknya orang perkotaan yang jenuh dengan hiruk pikuk kota dan butuh melipir ke desa. Disini, hanya dengan berjalan kaki sedikit, saya sudah bisa memperoleh ketenangan desa. Bahkan, halaman belakang rumah pun sudah sangat menenangkan dan menentramkan (kecuali jika halaman di serbu rombongan angsa yang migrasi, pup nya dimana-mana😂).
Nah, keelokan alamnya ini cukup membantu saya juga dalam memuaskan jiwa turis saya hahaha.
Mau foto-foto ala winter dengan latar belakang pohon cemara? Atau foto di warna warni dedaunan musim gugur? Bisa bangeeeeeet. Mau menikmati gemercik aliran air sungai??? Cherry blossom??? Tulip? Semua adaaaaaa masya Allah ... Begitulah pesona kota Columbus yang bukanlah kota destinasi wisata ini 😂. Meskipun semua pesona alam yang dimiliki kota ini hanya secuil jika dibandingkan dengan kota-kota wisata, tapi bagi saya pesona hijaunya sudah sangat lebih dari cukup bakal bikin rindu karena hijaunya mengalahi hijaunya kota Payakumbuh 😆😆😆
RAMAH STROLLER
Sesedikit pengalaman saya jalan-jalan di kota Columbus, bangunan-bangunan yang saya kunjungi baik di lingkungan kampus maupun luar kampus nyaris semua ramah stroller. Sebenernya sih ramah untuk temen-temen difable (disini lebih menggunakan kata difable ketimbang disable karena dianggap lebih berkonotasi positif), mulai dari tombol pintu otomatis hingga pengadaan ruangan khusus untuk akses ke ruangan yang lebih tinggi (bukan beda lantai juga sih), sejenis mini lift gitu. Sehingga memudahkan saya yang awal-awal tinggal disini anak-anak masih sangat kecil untuk diajak berjalan kaki cukup jauh.
NO DESKRIMINASI
Alhamdulillah selama beraktivitas di Columbus, saya belum menemukan perlakuan yang deskriminatif. Apakah karena faktor penampilan atau karena status ekonomi. Contohnya saja saat saya dirawat di rumah sakit sebulan yang lalu. Jumlah beasiswa dari LPDP termasuk ke dalam kelas ekonomi rendah wkwkwkwk, tapi dalam pelayanan dan perlakuan, saya merasa jadi orang gedongan karena menikmati fasilitas rumah sakit layaknya fasilitas orang kaya kalo Indonesia 😆😅.
Ruangan ber AC (disini kayanya AC bukan barang mewah deh 😅), tempat tidur ramah pasien yang dilengkapi tombol 'help' itu lhooo yang pake remote #norakye. Alat medis lengkap dan movable. Kamar mandi pasien plus wastafel dengan standar kelas VIP (kalo kata saya mah di Indonesia hehehehe). Belum lagi pelayanan yang penuh selama 24 jam dengan nurse dan PCA (Patient Care Association) yang sangat ramah dan perhatian. Kebutuhan makanan dilayani layaknya di hotel-hotel dengan pegawai restoran khusus kumplit dengan buku menunya.
Dan perlakuan tanpa deskriminasi inilah yang membuat saya sebagai minoritas merasa nyaman. Sehingga cukup membuat saya jadi refleksi karena kalo di Indonesia saya akan kembali menjadi mayoritas. Ya sebenernya mayoritas minoritas, dua-duanya ada aja sih yang suka zolim #nooffense 😆
HARGA MOBIL
Kendaraan roda 4 kami sekeluarga pertama kali ya belinya disini, di Amerika. Hebat ya, mahasiswa bisa beli mobil 😅
Inilah dia Amerika. Harga mobil sangat-sangatlah terjangkau. Dengan living allowance $1500 + $1500 family allowance, membeli mobil seharga $2500 (lebih kurang 40 juta) wajarkan? 😁. Jika saving perbulan bisa dilakukan sebesar $500, artinya 1 semester sudah lebih dari cukup untuk mampu membeli mobil minivan keluaran tahun 2003 😄😅.
Coba dibawa ke hitung-hitungan gaji di Indonesia. Untuk kelas gaji 10 juta saja, jika bisa saving 5 juta/bulan, beli mobil jenis yang sama, Toyota 2003 cing berapa harganya? Hitung sendiri aja ya hehehe.
Memang, mobil disini bukanlah barang mewah. Sehingga harga mobil di Amerika memang murah-murah jika dibandingkan di Indonesia. Jika saya di Indonesia bawa duit sebesar 40 juta untuk beli mobil, mungkin paling banter hanya dapat suzuki Espass (bener ga sih)
Ya intinya mah, rasa-rasa pengen paketin mobil dari sini wkwkwkwkwk. Andai bisa ya mobilnya diselundupkan ✌😅
Segitu dulu ya tulisan tentang negri 1000 mimpinya. Harusnya masih banyak lagi poinnya, tapi saya lupa dan saat mgedraft ga diketik dulu poin-poinnya. Jadilah pas draft dilanjut poin-poin fatamorgananya jadi lupa.
Makasi yang udah bacaaaa 🤗🤗🤗🤗
Columbus, 11 Mei 2018
draft bulan April 2018
Entah karena kemajuan teknologinya, ketertiban peradabannya atau karena keramahan penduduknya membuat kami para perantau di benuanya negara-negara maju seolah sedang berada di negeri dongeng, negeri mimpi yang penuh fatamorgana.
Tidak hanya itu, suplai dana yang bukan berasal dari kantong sendiri tampaknya juga cukup membuat kami 'terbuai' makin dalam di negeri mimpi ini. Hidup seolah tak nyata karena biaya selalu tersedia. Tidak seperti di Indonesia, dimana kami perlu bekerja sekuat tenaga demi biaya hidup sekeluarga.
Ada perbedaan yang pada hakikatnya adalah kesamaan. Katakanlah biaya beasiswa yang hakikatnya adalah gaji. Terlihat berbeda tapi pada dasarnya sama. Sama-sama biaya untuk menghargai jerih payah kita dalam mengabdi untuk negara. Perbedaannya mungkin terletak pada jenis jasanya. Dimana memang tingginya pendidikan bisa mempengaruhi tingginya 'penghargaan' yang diberikan pada seseorang.
Meskipuuuuun ... ketika para 'buruh ilmu' ini kembali mengabdi dan kemudian menjadi pegawai dan sejenisnya, nilai penghargaan yang didapat belum tentu akan sebanyak ketika mereka sedang menempuh studi. Dan plis jangan tanya ke saya kenapa 😂😂😂😂.
Jujur, saya dan juga suami menilai untuk bagian pembiayaan beasiswa yang diberikan negara melalui LPDP sebenarnya tidak bisa juga dikatakan lebih. Apalagi bagi kami yang belum memiliki gaji tetap di tanah air (belum memiliki homebase) sendiri. Jika tidak berfikir kedepan, ya bisa-bisa saja kami 'berfoya', tapi siap-siap, pulang kampung tanpa membawa tabungan.
Jadi jika fatamorgana yang saya sebutkan terkait soal funding beasiswa, jawaban saya tergantung kondisi penerima beasiswa itu sendiri. Untuk kami sekeluarga, beasiswa bukanlah fatamorgana. Beasiswa tak memberi begitu banyak harapan untuk kemudian menggunakannya agar bisa melancong keliling Amerika. Nei nei nei big nei 😂
Lalu fatamorgana apa yang sebenarnya membuat saya mengkhawatirkan adaptasi diri terhadap kehidupan disini yang ketika dibawa ke Indonesia bisa jadi bikin saya culture shock? Hmmmm Apa ya? 😆
Pemikiran akan fatamorgana yang sifatnya melenakan ini muncul setelah saya membaca sebuah treat di akun Instagramnya Jouska yang berkisah tentang si Broodie selebgram. Pada tau ga kisahnya? Eh tapi saya ga akan mengulas apa yang Jouska ulas ya hehehe. Saya hanya kepikiran soal standar keterjangkauan.
STANDAR KETERJANGKAUAN
Maksudnya apa?
Di Amerika, perbandingan keterjangkauan terhadap suatu barang (daya beli) meningkat dibanding ketika di Indonesia. Dan pun ketika standar keterjangkauan ini saya bawa ke Indonesia namtinya, saya hanya akan khawatir kalo-kalo saya berubah menjadi borjuis dan konsumtif ... Astaghfirullah ...
Kok bisa?
Belanja produk-produk branded disini bisa didapatkan dengan harga yang sangat terjangkau. Meski ketika di konversi ke rupiah masih sangat mahal untuk sekedar membeli sepatu atau baju. Lha wong di Indonesia saya paling mahal beli sepatu seharga 150 ribu. Sedangkan disini beli sepatu 30 dolaran alias 400 ribu terasa murah, nah lho? Ribet kan? 😅
Ribet kalo standar belanjanya kebawa-kebawa sampe kampung halaman. Padahal saya bukan tipe pembeli barang-barang branded. Tapi karena disini 'terjangkau', siapa yang ga mau melewatkan kesempatan langka ini.
Contoh lain misalkan produk skincare 🙈. Membeli satu jenis produk skincare harga $20-an untuk dipakai selama 6 bulan lebih kurang terasa sangat terjangkau. Coba dikonversi ke rupiah, 300 ribuan untuk sebuah skincare bagi saya adalah pemborosan meskipun produk tersebut bisa dipakai dalam jangka waktu yang cukup panjang. Kenapa? Karena harga segitu baru untuk satu jenis produk. Belum produk lainnya yang bisa-bisa untuk 1 step standar skincare saja bisa menghabiskan kocek satu juta lebih sekali belanja. NOoooooo!!! (Sehingga untuk skincare saya pun agak sedikit menutup mata dalam meng'upgrade' kebutuhan kulit. Pake yang terjangkau aja deh 😂)
"Hidup dalam fatamorgana". Dimana bukan standar kemewahan yang meningkat, tapi standar keterjangkauan yang bertambah. Kenapa? Karena daya beli terhadap sebuah benda yang jika di konversi ke rupiah dijamin tidak akan pernah kami untuk membelinya. Makanya, bagi saya Amerika adalah negri 1000 mimpi. Bukan sekedar mimpi dalam mencapai cita, namun mimpi dalam menatap benda #aliasbelanja 😂😂
Tapi, fatamorgana hidup di Amerika sesungguhnya tidak hanya sebatas hitung-hitungan uang. Banyak hal sehingga mungkin hal ini tidak akan pernah atau belum tentu kami dapatkan ketika hidup di Indonesia nanti.
Nah berikut ini, fakta dari sebuah fatamorgana hidup khusus wilayah Columbus, negara bagian Ohio yang tampaknya akan membuat saya rindu untuk kembali ke negri 1000 mimpi ini.
TERTIB LALU LINTAS
Kota Columbus meskipun menurut pandangan beberapa orang teman tidaklah demikian, tapi menurut saya termasuk surganya pengendara. Surga dalam artian, kendaraan lalu lalangnya bikin adem. Selain jumlah kendaraan yang tidak banyak, pengguna jalan rayanya juga tertib. Mulai dari pejalan kaki, pesepeda, pengendara motor sampai pengendara mobil. Sampai-sampai, kalo kita melakukan sebuah pelanggaran lalu lintas kok ya kayanya bakal maluuuuuuu banget. Plus dendanya ga kuat brooooo 😅.
ini jalanan Columbus .... Sepi 😅 |
Dan perihal tertib lalu lintas ini memang berbeda-beda di setiap kota dan negara bagian Amerika ya. Makanya saya hanya mengulas kota kecil Columbus aja. Hehehe.
ALAM HIJAUNYA YANG MENAWAN
Kesan pertama saya ketika mendarat di Columbus, "Wow, hijau bangeeeeet". Saking masih banyaknya wilayah hijau di kota ini. Dan saya suka!!! Tidak perlu repot memikirkan destinasi wisata alam layaknya orang perkotaan yang jenuh dengan hiruk pikuk kota dan butuh melipir ke desa. Disini, hanya dengan berjalan kaki sedikit, saya sudah bisa memperoleh ketenangan desa. Bahkan, halaman belakang rumah pun sudah sangat menenangkan dan menentramkan (kecuali jika halaman di serbu rombongan angsa yang migrasi, pup nya dimana-mana😂).
Nah, keelokan alamnya ini cukup membantu saya juga dalam memuaskan jiwa turis saya hahaha.
backyard apartment |
Mau foto-foto ala winter dengan latar belakang pohon cemara? Atau foto di warna warni dedaunan musim gugur? Bisa bangeeeeeet. Mau menikmati gemercik aliran air sungai??? Cherry blossom??? Tulip? Semua adaaaaaa masya Allah ... Begitulah pesona kota Columbus yang bukanlah kota destinasi wisata ini 😂. Meskipun semua pesona alam yang dimiliki kota ini hanya secuil jika dibandingkan dengan kota-kota wisata, tapi bagi saya pesona hijaunya sudah sangat lebih dari cukup bakal bikin rindu karena hijaunya mengalahi hijaunya kota Payakumbuh 😆😆😆
RAMAH STROLLER
Sesedikit pengalaman saya jalan-jalan di kota Columbus, bangunan-bangunan yang saya kunjungi baik di lingkungan kampus maupun luar kampus nyaris semua ramah stroller. Sebenernya sih ramah untuk temen-temen difable (disini lebih menggunakan kata difable ketimbang disable karena dianggap lebih berkonotasi positif), mulai dari tombol pintu otomatis hingga pengadaan ruangan khusus untuk akses ke ruangan yang lebih tinggi (bukan beda lantai juga sih), sejenis mini lift gitu. Sehingga memudahkan saya yang awal-awal tinggal disini anak-anak masih sangat kecil untuk diajak berjalan kaki cukup jauh.
NO DESKRIMINASI
Alhamdulillah selama beraktivitas di Columbus, saya belum menemukan perlakuan yang deskriminatif. Apakah karena faktor penampilan atau karena status ekonomi. Contohnya saja saat saya dirawat di rumah sakit sebulan yang lalu. Jumlah beasiswa dari LPDP termasuk ke dalam kelas ekonomi rendah wkwkwkwk, tapi dalam pelayanan dan perlakuan, saya merasa jadi orang gedongan karena menikmati fasilitas rumah sakit layaknya fasilitas orang kaya kalo Indonesia 😆😅.
Ruangan ber AC (disini kayanya AC bukan barang mewah deh 😅), tempat tidur ramah pasien yang dilengkapi tombol 'help' itu lhooo yang pake remote #norakye. Alat medis lengkap dan movable. Kamar mandi pasien plus wastafel dengan standar kelas VIP (kalo kata saya mah di Indonesia hehehehe). Belum lagi pelayanan yang penuh selama 24 jam dengan nurse dan PCA (Patient Care Association) yang sangat ramah dan perhatian. Kebutuhan makanan dilayani layaknya di hotel-hotel dengan pegawai restoran khusus kumplit dengan buku menunya.
Dan perlakuan tanpa deskriminasi inilah yang membuat saya sebagai minoritas merasa nyaman. Sehingga cukup membuat saya jadi refleksi karena kalo di Indonesia saya akan kembali menjadi mayoritas. Ya sebenernya mayoritas minoritas, dua-duanya ada aja sih yang suka zolim #nooffense 😆
HARGA MOBIL
Kendaraan roda 4 kami sekeluarga pertama kali ya belinya disini, di Amerika. Hebat ya, mahasiswa bisa beli mobil 😅
Inilah dia Amerika. Harga mobil sangat-sangatlah terjangkau. Dengan living allowance $1500 + $1500 family allowance, membeli mobil seharga $2500 (lebih kurang 40 juta) wajarkan? 😁. Jika saving perbulan bisa dilakukan sebesar $500, artinya 1 semester sudah lebih dari cukup untuk mampu membeli mobil minivan keluaran tahun 2003 😄😅.
Ekspresi pertama punya mobil sendiri Norak ada tipinya 😂😅 |
Coba dibawa ke hitung-hitungan gaji di Indonesia. Untuk kelas gaji 10 juta saja, jika bisa saving 5 juta/bulan, beli mobil jenis yang sama, Toyota 2003 cing berapa harganya? Hitung sendiri aja ya hehehe.
Memang, mobil disini bukanlah barang mewah. Sehingga harga mobil di Amerika memang murah-murah jika dibandingkan di Indonesia. Jika saya di Indonesia bawa duit sebesar 40 juta untuk beli mobil, mungkin paling banter hanya dapat suzuki Espass (bener ga sih)
Ya intinya mah, rasa-rasa pengen paketin mobil dari sini wkwkwkwkwk. Andai bisa ya mobilnya diselundupkan ✌😅
Segitu dulu ya tulisan tentang negri 1000 mimpinya. Harusnya masih banyak lagi poinnya, tapi saya lupa dan saat mgedraft ga diketik dulu poin-poinnya. Jadilah pas draft dilanjut poin-poin fatamorgananya jadi lupa.
Makasi yang udah bacaaaa 🤗🤗🤗🤗
Columbus, 11 Mei 2018
draft bulan April 2018
Cerita ke istri biar semangat cari beasiswa, coba ke US deh, lihat sederhananya hidup disana, sederhana kayak dongeng maksudnya.
BalasHapusSemoga nemu semangat dan jalannya 😊😊
Hapus