Sejak rutin menulis di Blog pribadi, saya memang mencoba mengkhususkan cerita di bulan nan suci dan hari nan fitri dimana pun saya berada. Sehingga labelling 'Ramadhan Kami' & 'Lebaran Kami' saya buat untuk memudahkan saya melacak memori lama kalo-kalo kangen buat membacanya. Belum banyak memang kisah yang terkumpul. Karena memang baru saya mulai di tahun 2016.
Tahun ini merupakan kisah kedua saya melaksanakan Ramadan di negri rantau. Jika tahun lalu saya bercerita tentang sensasi berpuasa di Amerika yang sebenarnya belumlah terlalu panjang (hanya 16 jam saja), maka di awal Ramadan tahun ini saya hendak berbagi tentang sebuah perjalanan batin saya ketika mengikuti sebuah prosesi pemakaman orang tua salah seorang karib kami disini.
Berita duka itu saya dapatkan tepat di saat sahur Ramadan hari kedua. Meski tak sempat bertemu dengan almarhumah, hubungan pertemanan saya dengan anak dan menantu beliau bisa dikatakan cukup dekat. Mereka adalah pasangan soleh dan solehah yang membantu saya terhubung dengan komunitas muslim Indonesia di awal-awal kedatangan saya di Amerika. Sehingga, mendengar berita duka tersebut cukup membuat saya berduka dan terlarut dalam perjalanan batin yang mengantarkan saya pada sebuah momen zikrul maut.
Kali pertamanya untuk saya dan suami dan juga anak-anak menyaksikan prosesi pemakaman disini. Meskipun tak berkesempatan untuk memandikan jenazah hingga mengkafani, mengikuti prosesi menyhalatkan dan mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhirnya sungguh memberikan sentakan besar buat saya akan sebuah kematian.
Baca juga: Spion Kematian
Padahal pengalaman mengantarkan jenazah ini bukanlah pengalaman pertama bagi saya. Tapi memang pengalaman kemaren merupakan pengalaman pertama saya menyaksikan langsung jenazah diposisikan di liang lahatnya. Dan saya merasakan 'ketakutan' yang luar biasa ketika melihat langsung tubuh yang sudah tak berdaya itu diletakkan di atas tanah, tempat peristirahatan terakhir setiap manusia. Rasa-rasanya saya belum siap. Rasa-rasanya iman saya masih terlalu cetek untuk membayangkan posisi jenazah itu adalah diri saya.
Zikrul maut dengan ta'ziah memang salah satu cara ampuh untuk mengingatkan kita akan hakikat kehidupan di dunia, yaitu untuk mendapat kehidupan akhirat yang layak. Saya yakin setiap manusia yang beriman pasti sangat menginginkan kehidupan bahagia di kehidupan berikutnya. Siapa yang mau mendapat siksa kubur apalagi siksa di hari pembalasan kelak 😣😣😣.
Dan alhamdulillah, di bulan maghfiroh ini, saya diberikan kesempatan olehNya sekedar mentafakuri diri melalui sebuah peristiwa pasti yang akan menjemputi setiap anak cucu Adam. Katakanlah sebuah refleksi diri dari saya yang jangankan memikirkan kematian, memikirkan sebuah perpisahan saja rasa-rasanya jiwa saya langsung lemah 😔
Semoga apa yang saya tafakuri bisa mengantarkan saya pada sebuah semangat membekali diri menjadi insan yang lebih bertaqwa ... aamiin ...
Baca juga: Berkat Rahmat
Hmmm, agar tulisan ini tak sekedar curhatan dan refleksi diri, saya coba berbagi soalan penyelenggaraan jenazah kemaren ya. Sumbernya hanya dari pengalaman dan pengamatan saja plus tanya-tanya spontan ke salah seorang tetua disini. Soalnya saya agak sungkan kalo harus kroscek ke teman yang berduka tersebut perihal prosedur pengurusan jenazah yang kemaren beliau jalani. Jadi maaf ya kalo ada yang kurang tepat 😊
Pada dasarnya tahapan-tahapannya tentunya sama, karena memang sudah ada standar berdasarkan syari'at. Mulai dari memandikan-mengkafani-menyhalatkan-menguburkan. Perbedaannya hanya terletak pada prosedur penyelenggaraan jenazah yang melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak rumah pemakaman (funeral home).
Di Amerika, ketika ada yang meninggal, pengurusan jenazah dilakukan di sebuah rumah pemakaman (funeral home). Kenapa? Karena memang demikian ketentuan dari pemerintahnya. Nah karena di Columbus belum memiliki funeral home khusus muslim, maka kemaren itu pengurusan jenazah dibantu oleh teman-teman dari Islamic Center setempat. Jadi pihak funeral home hanya menyediakan tempat untuk memandikan dan mengkafani jenazah dan juga mobil untuk mengangkut jenazah.
Jadi, setelah jenazah selesai 'didandani' sesuai agama (Islam tentunya dimandikam dan dikafani), jenazah dibawa ke lokasi yang diinginkan keluarga. Karena Muslim, sehingga proses setelah jenazah dikafani adalah dishalatkan. Proses untuk menyhalatkan jenazah dilakukan di masjid terdekat seperti halnya di Indonesia.
Setelah dishalatkan di masjid setelah usai waktu shalat wajib, jenazah pun dibawa ke lokasi pemakaman. Di pemakaman, sudah menunggu petugas yang bertanggung jawab atas pengadaan kuburan. Lubang kuburan pun sudah digali. Hal yang berbeda yang saya temukan, disini tidak dibuatkan liang lahat khusus, jenazah hanya dimiringkan ke arah kiblat dan kemudian ditutup oleh kayu seperti tripleks yang berbentuk kotak persegi panjang (lebih seperti peti). Sedangkan di Indonesia kita menggunakan papan kecil untuk menyangga tubuh jenazah di liang lahatnya dan menghalangi tanah menimpa langsung tubuh jenazah.
Oh ya, untuk penggalian kubur, disini tidak menggunakan tenaga manusia. Penggalian tanah dilakukan menggunakan traktor mini berhubung tanah disini sangat keras tidak seperti di Indonesia. Selain itu memang tenaga manusia sangat mahal dan SDM yang mau bekerja kasar memang terbatas. Berbeda sekali dengan Indonesia yang memiliki SDM pekerja kasar yang sangat banyak 😊.
Selanjutnya, setelah kuburan ditimbun kembali, ada prosesi berdoa untuk jenazah. Yang hadir di pemakaman hanya keluarga inti saja, anak mantu dan cucu almarhumah. Tapi, berhubung anak menantu almarhumah aktif di komunitas Indonesia, jadi cukup banyak teman-teman Indonesia yang datang untuk mensupport pengurusan jenazah. Termasuk menjadi volunteer memandikan dan mengkafani. Meskipun pada akhirnya beberapa orang teman yang sudah datang ke funeral home harus berikhlas hati tidak berkesempatan memandikan dan mengkafani karena jumlah orang yang dibatasi pihak pengurus funeral home, yaitu hanya 5 orang saja.
Demikian sedikit pengalaman saya dan secuil refleksi diri tentang sebuah kematian. Semoga tulisan ini ada manfaatnya. Dan mohon maaf saya tidak menyertakan foto-foto karena sungkan juga kalo harus jeprat jepret disaat orang lain berduka.
Columbus, 29 Mei 2018
Source: pexels |
Tahun ini merupakan kisah kedua saya melaksanakan Ramadan di negri rantau. Jika tahun lalu saya bercerita tentang sensasi berpuasa di Amerika yang sebenarnya belumlah terlalu panjang (hanya 16 jam saja), maka di awal Ramadan tahun ini saya hendak berbagi tentang sebuah perjalanan batin saya ketika mengikuti sebuah prosesi pemakaman orang tua salah seorang karib kami disini.
Berita duka itu saya dapatkan tepat di saat sahur Ramadan hari kedua. Meski tak sempat bertemu dengan almarhumah, hubungan pertemanan saya dengan anak dan menantu beliau bisa dikatakan cukup dekat. Mereka adalah pasangan soleh dan solehah yang membantu saya terhubung dengan komunitas muslim Indonesia di awal-awal kedatangan saya di Amerika. Sehingga, mendengar berita duka tersebut cukup membuat saya berduka dan terlarut dalam perjalanan batin yang mengantarkan saya pada sebuah momen zikrul maut.
Kali pertamanya untuk saya dan suami dan juga anak-anak menyaksikan prosesi pemakaman disini. Meskipun tak berkesempatan untuk memandikan jenazah hingga mengkafani, mengikuti prosesi menyhalatkan dan mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhirnya sungguh memberikan sentakan besar buat saya akan sebuah kematian.
Baca juga: Spion Kematian
Padahal pengalaman mengantarkan jenazah ini bukanlah pengalaman pertama bagi saya. Tapi memang pengalaman kemaren merupakan pengalaman pertama saya menyaksikan langsung jenazah diposisikan di liang lahatnya. Dan saya merasakan 'ketakutan' yang luar biasa ketika melihat langsung tubuh yang sudah tak berdaya itu diletakkan di atas tanah, tempat peristirahatan terakhir setiap manusia. Rasa-rasanya saya belum siap. Rasa-rasanya iman saya masih terlalu cetek untuk membayangkan posisi jenazah itu adalah diri saya.
Zikrul maut dengan ta'ziah memang salah satu cara ampuh untuk mengingatkan kita akan hakikat kehidupan di dunia, yaitu untuk mendapat kehidupan akhirat yang layak. Saya yakin setiap manusia yang beriman pasti sangat menginginkan kehidupan bahagia di kehidupan berikutnya. Siapa yang mau mendapat siksa kubur apalagi siksa di hari pembalasan kelak 😣😣😣.
Dan alhamdulillah, di bulan maghfiroh ini, saya diberikan kesempatan olehNya sekedar mentafakuri diri melalui sebuah peristiwa pasti yang akan menjemputi setiap anak cucu Adam. Katakanlah sebuah refleksi diri dari saya yang jangankan memikirkan kematian, memikirkan sebuah perpisahan saja rasa-rasanya jiwa saya langsung lemah 😔
Semoga apa yang saya tafakuri bisa mengantarkan saya pada sebuah semangat membekali diri menjadi insan yang lebih bertaqwa ... aamiin ...
Baca juga: Berkat Rahmat
Hmmm, agar tulisan ini tak sekedar curhatan dan refleksi diri, saya coba berbagi soalan penyelenggaraan jenazah kemaren ya. Sumbernya hanya dari pengalaman dan pengamatan saja plus tanya-tanya spontan ke salah seorang tetua disini. Soalnya saya agak sungkan kalo harus kroscek ke teman yang berduka tersebut perihal prosedur pengurusan jenazah yang kemaren beliau jalani. Jadi maaf ya kalo ada yang kurang tepat 😊
Bagaimana Proses Penyelenggaraan Jenazah Muslim di Amerika?
Mungkin ada yang bertanya-tanya dan penasaran perihal teknis penyelenggaraan jenazah disini. Saya coba berbagi sedikit pengalaman saya di hari kedua Ramadan kemaren. Semoga ada manfaatnya.Pada dasarnya tahapan-tahapannya tentunya sama, karena memang sudah ada standar berdasarkan syari'at. Mulai dari memandikan-mengkafani-menyhalatkan-menguburkan. Perbedaannya hanya terletak pada prosedur penyelenggaraan jenazah yang melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak rumah pemakaman (funeral home).
Di Amerika, ketika ada yang meninggal, pengurusan jenazah dilakukan di sebuah rumah pemakaman (funeral home). Kenapa? Karena memang demikian ketentuan dari pemerintahnya. Nah karena di Columbus belum memiliki funeral home khusus muslim, maka kemaren itu pengurusan jenazah dibantu oleh teman-teman dari Islamic Center setempat. Jadi pihak funeral home hanya menyediakan tempat untuk memandikan dan mengkafani jenazah dan juga mobil untuk mengangkut jenazah.
Jadi, setelah jenazah selesai 'didandani' sesuai agama (Islam tentunya dimandikam dan dikafani), jenazah dibawa ke lokasi yang diinginkan keluarga. Karena Muslim, sehingga proses setelah jenazah dikafani adalah dishalatkan. Proses untuk menyhalatkan jenazah dilakukan di masjid terdekat seperti halnya di Indonesia.
Setelah dishalatkan di masjid setelah usai waktu shalat wajib, jenazah pun dibawa ke lokasi pemakaman. Di pemakaman, sudah menunggu petugas yang bertanggung jawab atas pengadaan kuburan. Lubang kuburan pun sudah digali. Hal yang berbeda yang saya temukan, disini tidak dibuatkan liang lahat khusus, jenazah hanya dimiringkan ke arah kiblat dan kemudian ditutup oleh kayu seperti tripleks yang berbentuk kotak persegi panjang (lebih seperti peti). Sedangkan di Indonesia kita menggunakan papan kecil untuk menyangga tubuh jenazah di liang lahatnya dan menghalangi tanah menimpa langsung tubuh jenazah.
Oh ya, untuk penggalian kubur, disini tidak menggunakan tenaga manusia. Penggalian tanah dilakukan menggunakan traktor mini berhubung tanah disini sangat keras tidak seperti di Indonesia. Selain itu memang tenaga manusia sangat mahal dan SDM yang mau bekerja kasar memang terbatas. Berbeda sekali dengan Indonesia yang memiliki SDM pekerja kasar yang sangat banyak 😊.
Selanjutnya, setelah kuburan ditimbun kembali, ada prosesi berdoa untuk jenazah. Yang hadir di pemakaman hanya keluarga inti saja, anak mantu dan cucu almarhumah. Tapi, berhubung anak menantu almarhumah aktif di komunitas Indonesia, jadi cukup banyak teman-teman Indonesia yang datang untuk mensupport pengurusan jenazah. Termasuk menjadi volunteer memandikan dan mengkafani. Meskipun pada akhirnya beberapa orang teman yang sudah datang ke funeral home harus berikhlas hati tidak berkesempatan memandikan dan mengkafani karena jumlah orang yang dibatasi pihak pengurus funeral home, yaitu hanya 5 orang saja.
Demikian sedikit pengalaman saya dan secuil refleksi diri tentang sebuah kematian. Semoga tulisan ini ada manfaatnya. Dan mohon maaf saya tidak menyertakan foto-foto karena sungkan juga kalo harus jeprat jepret disaat orang lain berduka.
Columbus, 29 Mei 2018