Dari jaman dahulu kala, udah jadi rahasia bersama kalo manusia itu anekaragam isinya. Hal aneka ragam yang paling bikin pusing itu, anekaragam pikiran dan perasaannya. Sampe-sampe ilmuwan turut andil dalam mendefinisikan manusia.
Saya, sebagai bagian dari manusia, termasuk dalam ragam sensitif dan penuh drama. Tapi disisi lain saya juga kurang peka, ceplas-ceplos dan terlalu polos apa adanya.
Seperti siang dan malam, hitam dan putih dan dua sisi lain dari setiap benda dan sifat di dunia ini, ragam yang saya punya berefek baik dan buruk untuk diri saya. Baiknya, saya jadi bisa menghayati hidup seperti halnya drama-drama dalam sinetron India. Buruknya, saya tumbuh bersama airmata dalam jumlah yang berlebihan.
Sampai suatu ketika, saya merenung. Menjadi manusia lempeng itu perlu juga. Lempeng dalam menghadapi respon sosial atau problema pribadi. Sehingga, ketika diputus pacar tak perlu ada air mata atau drama ceramah agama untuknya. Sehingga, tak perlu ada rasa kecewa ketika dituduh durhaka.
Hidup lempeng bukan berarti hidup tanpa makna dan tak mau menyerap makna. Tapi hidup lempeng adalah hidup dengan makna yang hakiki berasal dari Sang Kuasa. Bukan dari tetangga ataupun mertua.
Jika sudah demikian, bisalah kita hidup di atas kaki sendiri karena nanti pun akhirnya kita mati dengan ucapan akhir dari diri sendiri. Jika kita hidup dari ucapan tetangga ataupun saran mertua, maka dimana letak dan posisi nasehat Sang Kuasa dalam kitab suci pemberianNya?
Begitulah. Hidup sederhana kita yang bikin rumit. Hidup penuh makna, kita yang mempropagandanya.
Mari hidup lempeng! Peeeeeeng!
nb: jika ada yang nyasar baca dua tulisan saya berturut-turut di waktu yang berdekatan, maka sungguh. Kamu adalah orang yang beruntung. Paling tidak kamu beruntung karena menjadi bagian kecil yang membaca tulisan ini. Karena sungguh tulisan ini tidak akan di promosikan karena ini bagian dari aktualisasi diri yang liar ini 😅
Saya, sebagai bagian dari manusia, termasuk dalam ragam sensitif dan penuh drama. Tapi disisi lain saya juga kurang peka, ceplas-ceplos dan terlalu polos apa adanya.
Seperti siang dan malam, hitam dan putih dan dua sisi lain dari setiap benda dan sifat di dunia ini, ragam yang saya punya berefek baik dan buruk untuk diri saya. Baiknya, saya jadi bisa menghayati hidup seperti halnya drama-drama dalam sinetron India. Buruknya, saya tumbuh bersama airmata dalam jumlah yang berlebihan.
Sampai suatu ketika, saya merenung. Menjadi manusia lempeng itu perlu juga. Lempeng dalam menghadapi respon sosial atau problema pribadi. Sehingga, ketika diputus pacar tak perlu ada air mata atau drama ceramah agama untuknya. Sehingga, tak perlu ada rasa kecewa ketika dituduh durhaka.
Hidup lempeng bukan berarti hidup tanpa makna dan tak mau menyerap makna. Tapi hidup lempeng adalah hidup dengan makna yang hakiki berasal dari Sang Kuasa. Bukan dari tetangga ataupun mertua.
Jika sudah demikian, bisalah kita hidup di atas kaki sendiri karena nanti pun akhirnya kita mati dengan ucapan akhir dari diri sendiri. Jika kita hidup dari ucapan tetangga ataupun saran mertua, maka dimana letak dan posisi nasehat Sang Kuasa dalam kitab suci pemberianNya?
Begitulah. Hidup sederhana kita yang bikin rumit. Hidup penuh makna, kita yang mempropagandanya.
Mari hidup lempeng! Peeeeeeng!
nb: jika ada yang nyasar baca dua tulisan saya berturut-turut di waktu yang berdekatan, maka sungguh. Kamu adalah orang yang beruntung. Paling tidak kamu beruntung karena menjadi bagian kecil yang membaca tulisan ini. Karena sungguh tulisan ini tidak akan di promosikan karena ini bagian dari aktualisasi diri yang liar ini 😅
Sebenernya nyasar kesini karna ada temen yg bilang, "untung lu orangnya lempeng" trs gw kepo kan, definisi lempeng tuh apa si, and here i am
BalasHapusWow! Dan makasi banget lo mba udah nyempetin komen ðŸ¤ðŸ¤ðŸ¤
HapusSama. Nyasar kesini gara2 ada yg bilang. Lempeng😂
BalasHapus