Sungguh berat menulis perihal buku. Buat saya tentunya. Menulis ulasan tentang buku, perpustakaan atau sale buku murah meriah memang menjadi beban tersendiri buat saya. Beban karena sesungguhnya saya bukanlah kutu buku apalagi kutukupret #eh. Bukan bukan bukan ... Saya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang dari sejak jaman remajanya masih belum selesai dan tuntas untuk menumbuh kembangkan semangat dan budaya membaca #huft.
Adalah saya, anak guru bahasa Indonesia tapi tidak memiliki kecintaan terhadap membaca? Yah! Aneh tapi nyata. Yang saya tau, setiap kali membaca saya hanya akan jatuh tertidur dan terlelap dan ketika bangun mendapati buku yang tadinya saya baca tergeletak indah disamping saya. Tragis!
Masih lekat dipikiran saya bagaimana kemudian saya jatuh bangun untuk menjadi pecinta buku. Mulai dari rutin menemani seorang teman ke taman bacaan untuk meminjam seonggok komik, membeli majalah remaja, kumpulan cerpen remaja, hingga majalah politik kontemporer plus berkunjung rutin ke perpustakaan sekolah ketika jaman SMA. Berhasil? Tentu tidak. Saya hanya mampu meraup jika di hitung tak lebih dari 50 judul buku dari berbagai macam genre dalam usia remaja saya. Dan kemudian waktu pun bergulir hingga akhirnya saya tertunduk dengan pandangan nanar mendapati usia yang akan beranjak kepala tiga tahun ini .... mamaaaaaaaaaaaaah #nangisdipojokan
Saya tidak bermaksud curhat pada tulisan kali ini. Saya memang kalo nulis itu based on true story wkwkwkwkwk. Dan the truth is ... ya! Cerita di atas.
Kondisi semakin miris ketika saya berubah menjadi ibu (lho curhat berlanjut 😅). Hingga anak-anak usia 3 tahun, bisa dikatakan tak satupun buku fisik (bukan online book, atau apapun yang berbau online) yang habis saya baca. Tak sa-tu-pun! Dan saya tak mau mengkambing jantankan anak-anak (anak saya laki-laki dan putih. Jadi kalo kambing hitam agak kurang tepat #gamasukrasya) sebagai penyebabnya. Toh memang pada dasarnya saya bukanlah seorang kutu buku atau booklover yang very very much doyan bacanya.
Meskipun demikian, saya sangat amatlah setuju bahwa membaca adalah sebuah keharusan karena membaca itu kebutuhan! Kebutuhan untuk bertahan hidup jika tak ingin hidup dalam kebodohan. Bersyukurnya, dan tak pernah terduga dahulu kala jaman single, saya berada dilingkungan orang-orang yang cinta membaca. Lingkungan mahasiswa! Yang at least mereka setiap satu matakuliah paling sedikit harus menuntaskan 20-30 judul artikel berikut dengan isinya (kalo judulnya doank saya juga bisa coi!) yang mana satu artikel bisa terdiri dari 30-80 halaman. Itu satu mata kuliah ya ... wkwkwk ... untuk mahasiswa Education seperti suami saya. Artikel. Belom buku teksnya 😅 (pusying pala Kirana). Kurang tau kalo mahasiswa fokus lain. Dengan lingkungan yang kondusif inilah, dalam waktu satu tahun setengah ini, minat baca saya kembali tumbuh bermekaran. Paling tidak ada rasa ingin tau akan sesuatu dan mencoba untuk membaca dan mencari referensinya terlebih dahulu kemudian baru bertanya jika udah mentok tok tok hehehe.
Meskipun demikian, memang dasar bukan pecinta buku, saya tetap saja belum mampu menamatkan buku-buku yang ada yang tadinya menurut saya bakal menarik untuk dibaca. Pasalnya, bukunya berbahasa inggris dan tentunya butuh waktu berabad-abad untuk mencernanya. Adapun buku berbahasa Indonesia yang saya punya semuanya mentok buku-buku parenting dimana kok saya merasa apapun jenis buku berbau parenting kontennya senada yang membuat saya ketika membacanya jadi nyekip nyekip (di skip maksudnya hehehe). .. Dan memang sebenarnya buku parenting itu lagi saya hindari dulu dalam rangka stabilisasi emosi tingkat nasional (halah bahasanya) agar saya bisa menghayati dan mencari kemudian menemukan my own parenting strategy. Ilmu dasarnya dengan keywordsnya aja deh yang dipegang. Oke sip! Ntar kalo ada yang mau dicari baru deh baca-baca lagi biar inget #ting!
Nah, di Columbus, kota fana tempat saya tinggal sementara hingga tahun 2020 nanti in sya Allah, memiliki buanyaaaaaaaaaaaaaaaak sekali toko buku dan perpustakaan. Dalam tulisan ini saya belum akan mengulas tentang perpustakaan sebagai sarana gudang buku gratis terbikin ences eh terngiler sepanjang abad (menurut saya). Entahlah ya di Indonesia bagaimana nasib perpustakaannya. Yang pasti selama disini, perpustakaan tu menjadi salah satu tempat menarik untuk dikunjungi, semenarik tempat wisata kekinian di Indonesialah kalo boleh dibilang begituh. Selain untuk pencitraan wkwwkkw juga untuk membantu saya afirmasi diri menjadi orang pinter (plis bukan dukun. Literally orang yang pinter ya) #eaaaaaa. Trus kalo ga akan mengulas perpus, mengulas apa donk kakaaaa? Bookloft!
Bookloft itu nama toko buku. Lebih tepatnya yaitu "The Book Loft of Geman Village". Terletak diperkampungan Jerman kota Columbus, Ohio state. Toko buku ini berhasil menarik saya yang tak terlalu cinta buku untuk kemudian terkagum-kagum dengan suasananya. Ada rasa yang kemudian muncul katakanlah motivasi dari dalam diri untuk kemudian mengeskplor apa saja yang ada di dalam toko buku ini (ya buku lah ya ... masa iya jualan es cendol). Dan masuklah saya ke dalamnya setelah berhasil membeli sekitar 24 postcards untuk teman-teman komunitas 1m1c tercinta (maaf postcardnya masih on process yaks padahal harusnya udah bisa dikirim tuh minggu lalu, apadaya, saya sama anak-anak tumbang gegara mainin salju heu #sekalianpengumuman). Tapi memang niatan awal ke Bookloft ini bukan untuk beli buku. Niatnya memang buat beli postcard hasil rekomendasi beberapa teman tentang toko yang punya aneka macam jenis postcard sih. Sedangkan di wilayah kampus postcardnya cuma 2 jenis dan salah satunya cuma postcard bergambar coklat yang berisi biji buckeye ... atuhlah meuni ga kreatip #eh. Jadilah ke bookloft dibatasi waktu yang hanya 75 menit karena memang saya dan suami menyempatkan kesana di sela-sela jam sekolah anak-anak karena ga niat cari buku tea kan (dan parkir nya lumayan bisa dapet 1 buku seken buat anak-anak #emak-emakperhitungan)
Memasuki tokonya, saya langsung tertarik menuju lantai 2 (setelah berhasil pilih-pilih postcard yang dipajang di teras luar toko). Tepat di sebelah kiri tangga terdapat selembar kertas yang berisi direksi toko buku ini. Saya pikir hanya sekedar petunjuk biasa. Ya toko buku kan memang kadang suka bingung ya, genre ini atau itunya berada di rak mana. Tapi ternyata dugaan saya kurang tepat. Petunjuk arah di toko buku ini memang sangatlah penting. Selain membantu kita menemukan di ruangan mana buku yang kita mau terdapat, juga agar kita tak tersesat menyusuri labirin-labirin yang berjumlah 32 ruangan ini. Sumpah! Toko buku ini apik tenan rek! Kenapa bisa tersesat? Karena (entahlah cuma saya aja apa oranglain juga mengalaminya), ketika berada di satu ruangan kita bisa lupa posisi kita lagi di upper apa lower stage nya saking semuanya berisi rak buku yang rapet buku tersusun di atasnya. Jendela hanya tersingkap sedikit di lower stage deket tangga dan dipojokan labirin penghubung ruangan satu dengan ruangan lain. Sisanya? Bukuuuuuuu ... Meski ada petunjuk berupa tulisan dan arah exit, tetep saja saya tersesat dibuatnya ... dan langsung nanya pas ketemu om-om penjaganya yang lagi heboh nyusun-nyusun buku #malusumpah
"Take it easy! You will be fine!" katanya mungkin karena melihat saya agak pucat pasi #lebaysihini
Entahlah tepatnya ada berapa ruangan di lantai dasar dan lantai dua, saya hanya berhasil menyusuri lantai dua dan itupun baru bertengger di 2 ruangan. Room 14 dan room 25 kalo ga salah (ruangan lain cuma melewati doank pas tersesat tea 😅). Room 14 yang berisi buku-buku bergenre psychology, social and politic kalo ga salah (kertas direksinya lupa nyimpen dimana hehehe). Dan room 25 nya hobbies yakni fotografi dan interior (dan beberapa hobi lainnya seperti seni dll) ulalaaaaaa ... surga dunia bikin mata berbinar sayang dompetnya isinya tipis wkwkwkwwk.
Saya tadinya berharap bisa menyempatkan liat-liat ke bagian buku anak-anak. Sayang, 75 menit waktu yang sangat pendek wisata 'rohani' seperti ini. Jadilah saya berniat untuk kesini lagi meskipun saya tau, Pak Suami butuh perjuangan untuk berkendara ke wilayah German Village ini. Jalanan ke downtown memang agak tricky, kalo ga hati-hati baca GPS, waktu kita bisa terbuang di jalan karena muter dan muter dan muter akibat salah jalur 😅.
Terus beli buku apa? Hahahaha ... malu ah ... yang pasti kita maksa banget buat beli buku. Maksa karena ga enak kalo keluar tanpa membeli #mentalorangIndonesiabangets. Ya andai ada budgetnya (kala itu beasiswa belon turun coi huft) saya sangat tertarik membeli beberapa buku terkait fotografi dan desain interior buat inspirasi (dan akhirnya dibeliin suami via amazon wkwkwkwk karena katanya harga di Amazon lebih murah 😂) dan suami juga sangat tertarik untuk membeli buku-bukunya kakek Piaget dan lagi-lagi belinya di Amazon. Trus di bookloft nya beli apa neng? Beli postcard sama beli buku coloring therapy sama buku Dan Brown yang harganya kok ya murah bingits cuma $7. Padahal bukan pecinta karya nya doi #ngiks. (maksa beli buku kan judulnya 😆🙈)
Perlahan, melihat buku-buku berjajar indah di sepanjang labirin The Book Loft of German Village membuat saya semakin tersemangati untuk kembali mencoba menjadi pecinta baca (saya aja jatuh cinta apalagi para pecinta buku sejati). Tak sekedar buku tapi membacanya. Dan meskipun jaman now kita bisa membaca dimana saja, bahkan saya bisa membaca aura wajah anda 😎 ... tetap saja membaca buku membuka jendela dunia itu memang ajib dalem maknanya. Paling tidak ini mah ya, dengan membaca membuat saya jadi ada topik pembicaraan ketika berada di kelas-kelas diskusi yang saya ikuti. Paling tidak lagi, dengan membaca jadi tau dunia tuh lagi heboh apa ... dan dengan membaca jadi tau juga banyak tokoh dan aneka macam hal di dunia ini yang membuat hidup kita jauh lebih hidup karena merasa deket lewat tulisan-tulisan keren orang keren dunia. Pun bisa kasih pelajaran tak langsung juga ke anak-anak bahwa buku itu tak cuma buat kamuuuu, tapi juga buat umi dan abi #curhatlagi (efek budget buku selalu habis buat anak-anak #ngok)
Satu hal yang mungkin akan membuat saya berpikir panjang ketika membeli buku di sebuah toko buku disini adalah harga amazon jauh lebih murah ketimbang di toko buku 😂. Tapi tak ada salahnya ke toko buku kan ... Tak dibatasi ini jam kunjungnya. Bisa baca gratis lagi ... anggap aja lagi di perpus 😆 plus afirmasi diri 😎😆😂
Demikian cerita singkat hari ini tentang toko buku di Amerika #eaaaaaa (kudu ya dibilang amerikanya 😅). Semoga kebiasaan baik disini terjaga dan terawat ampe balik ke Indonesia. Kalo belum ada Bookloft di Indonesia, saya mau lah punya toko buku kaya begitoh.
Tell me tell me ya kalo ada info toko buku serupa di Indonesia (yang gemes liat saya pake bahasa campur-campur plis jangan dikritisi. Ceritanya biar aseeeeek 😎 #mintakdijitak). Saya cuma tau toko buku bekas palasari, tapi asli bikin saya ga nyaman bin sesek. Togamas masih mending. Tapi masih aaaaah belum membuat saya jatuh cintrong kecuali perihal harga kali yaks 😆. Gramedia ... hmmmm ... Paling ga di gramed bisa baca gratis sambil selonjoran di lantai.
NB: The Bookloft ini ga akan bikin orang-orang dengan pobia tertentu suka. Misal yang pobia labirin, tempat sempit, tempat sepi.
Salam!
dari Columbus
25 Januari 2018
pukul 12.07 am est
Adalah saya, anak guru bahasa Indonesia tapi tidak memiliki kecintaan terhadap membaca? Yah! Aneh tapi nyata. Yang saya tau, setiap kali membaca saya hanya akan jatuh tertidur dan terlelap dan ketika bangun mendapati buku yang tadinya saya baca tergeletak indah disamping saya. Tragis!
Masih lekat dipikiran saya bagaimana kemudian saya jatuh bangun untuk menjadi pecinta buku. Mulai dari rutin menemani seorang teman ke taman bacaan untuk meminjam seonggok komik, membeli majalah remaja, kumpulan cerpen remaja, hingga majalah politik kontemporer plus berkunjung rutin ke perpustakaan sekolah ketika jaman SMA. Berhasil? Tentu tidak. Saya hanya mampu meraup jika di hitung tak lebih dari 50 judul buku dari berbagai macam genre dalam usia remaja saya. Dan kemudian waktu pun bergulir hingga akhirnya saya tertunduk dengan pandangan nanar mendapati usia yang akan beranjak kepala tiga tahun ini .... mamaaaaaaaaaaaaah #nangisdipojokan
Saya tidak bermaksud curhat pada tulisan kali ini. Saya memang kalo nulis itu based on true story wkwkwkwkwk. Dan the truth is ... ya! Cerita di atas.
Kondisi semakin miris ketika saya berubah menjadi ibu (lho curhat berlanjut 😅). Hingga anak-anak usia 3 tahun, bisa dikatakan tak satupun buku fisik (bukan online book, atau apapun yang berbau online) yang habis saya baca. Tak sa-tu-pun! Dan saya tak mau mengkambing jantankan anak-anak (anak saya laki-laki dan putih. Jadi kalo kambing hitam agak kurang tepat #gamasukrasya) sebagai penyebabnya. Toh memang pada dasarnya saya bukanlah seorang kutu buku atau booklover yang very very much doyan bacanya.
Meskipun demikian, saya sangat amatlah setuju bahwa membaca adalah sebuah keharusan karena membaca itu kebutuhan! Kebutuhan untuk bertahan hidup jika tak ingin hidup dalam kebodohan. Bersyukurnya, dan tak pernah terduga dahulu kala jaman single, saya berada dilingkungan orang-orang yang cinta membaca. Lingkungan mahasiswa! Yang at least mereka setiap satu matakuliah paling sedikit harus menuntaskan 20-30 judul artikel berikut dengan isinya (kalo judulnya doank saya juga bisa coi!) yang mana satu artikel bisa terdiri dari 30-80 halaman. Itu satu mata kuliah ya ... wkwkwk ... untuk mahasiswa Education seperti suami saya. Artikel. Belom buku teksnya 😅 (pusying pala Kirana). Kurang tau kalo mahasiswa fokus lain. Dengan lingkungan yang kondusif inilah, dalam waktu satu tahun setengah ini, minat baca saya kembali tumbuh bermekaran. Paling tidak ada rasa ingin tau akan sesuatu dan mencoba untuk membaca dan mencari referensinya terlebih dahulu kemudian baru bertanya jika udah mentok tok tok hehehe.
Meskipun demikian, memang dasar bukan pecinta buku, saya tetap saja belum mampu menamatkan buku-buku yang ada yang tadinya menurut saya bakal menarik untuk dibaca. Pasalnya, bukunya berbahasa inggris dan tentunya butuh waktu berabad-abad untuk mencernanya. Adapun buku berbahasa Indonesia yang saya punya semuanya mentok buku-buku parenting dimana kok saya merasa apapun jenis buku berbau parenting kontennya senada yang membuat saya ketika membacanya jadi nyekip nyekip (di skip maksudnya hehehe). .. Dan memang sebenarnya buku parenting itu lagi saya hindari dulu dalam rangka stabilisasi emosi tingkat nasional (halah bahasanya) agar saya bisa menghayati dan mencari kemudian menemukan my own parenting strategy. Ilmu dasarnya dengan keywordsnya aja deh yang dipegang. Oke sip! Ntar kalo ada yang mau dicari baru deh baca-baca lagi biar inget #ting!
Nah, di Columbus, kota fana tempat saya tinggal sementara hingga tahun 2020 nanti in sya Allah, memiliki buanyaaaaaaaaaaaaaaaak sekali toko buku dan perpustakaan. Dalam tulisan ini saya belum akan mengulas tentang perpustakaan sebagai sarana gudang buku gratis terbikin ences eh terngiler sepanjang abad (menurut saya). Entahlah ya di Indonesia bagaimana nasib perpustakaannya. Yang pasti selama disini, perpustakaan tu menjadi salah satu tempat menarik untuk dikunjungi, semenarik tempat wisata kekinian di Indonesialah kalo boleh dibilang begituh. Selain untuk pencitraan wkwwkkw juga untuk membantu saya afirmasi diri menjadi orang pinter (plis bukan dukun. Literally orang yang pinter ya) #eaaaaaa. Trus kalo ga akan mengulas perpus, mengulas apa donk kakaaaa? Bookloft!
Bookloft itu nama toko buku. Lebih tepatnya yaitu "The Book Loft of Geman Village". Terletak diperkampungan Jerman kota Columbus, Ohio state. Toko buku ini berhasil menarik saya yang tak terlalu cinta buku untuk kemudian terkagum-kagum dengan suasananya. Ada rasa yang kemudian muncul katakanlah motivasi dari dalam diri untuk kemudian mengeskplor apa saja yang ada di dalam toko buku ini (ya buku lah ya ... masa iya jualan es cendol). Dan masuklah saya ke dalamnya setelah berhasil membeli sekitar 24 postcards untuk teman-teman komunitas 1m1c tercinta (maaf postcardnya masih on process yaks padahal harusnya udah bisa dikirim tuh minggu lalu, apadaya, saya sama anak-anak tumbang gegara mainin salju heu #sekalianpengumuman). Tapi memang niatan awal ke Bookloft ini bukan untuk beli buku. Niatnya memang buat beli postcard hasil rekomendasi beberapa teman tentang toko yang punya aneka macam jenis postcard sih. Sedangkan di wilayah kampus postcardnya cuma 2 jenis dan salah satunya cuma postcard bergambar coklat yang berisi biji buckeye ... atuhlah meuni ga kreatip #eh. Jadilah ke bookloft dibatasi waktu yang hanya 75 menit karena memang saya dan suami menyempatkan kesana di sela-sela jam sekolah anak-anak karena ga niat cari buku tea kan (dan parkir nya lumayan bisa dapet 1 buku seken buat anak-anak #emak-emakperhitungan)
aneka postcard yang bakal dikirim |
Memasuki tokonya, saya langsung tertarik menuju lantai 2 (setelah berhasil pilih-pilih postcard yang dipajang di teras luar toko). Tepat di sebelah kiri tangga terdapat selembar kertas yang berisi direksi toko buku ini. Saya pikir hanya sekedar petunjuk biasa. Ya toko buku kan memang kadang suka bingung ya, genre ini atau itunya berada di rak mana. Tapi ternyata dugaan saya kurang tepat. Petunjuk arah di toko buku ini memang sangatlah penting. Selain membantu kita menemukan di ruangan mana buku yang kita mau terdapat, juga agar kita tak tersesat menyusuri labirin-labirin yang berjumlah 32 ruangan ini. Sumpah! Toko buku ini apik tenan rek! Kenapa bisa tersesat? Karena (entahlah cuma saya aja apa oranglain juga mengalaminya), ketika berada di satu ruangan kita bisa lupa posisi kita lagi di upper apa lower stage nya saking semuanya berisi rak buku yang rapet buku tersusun di atasnya. Jendela hanya tersingkap sedikit di lower stage deket tangga dan dipojokan labirin penghubung ruangan satu dengan ruangan lain. Sisanya? Bukuuuuuuu ... Meski ada petunjuk berupa tulisan dan arah exit, tetep saja saya tersesat dibuatnya ... dan langsung nanya pas ketemu om-om penjaganya yang lagi heboh nyusun-nyusun buku #malusumpah
"Take it easy! You will be fine!" katanya mungkin karena melihat saya agak pucat pasi #lebaysihini
Entahlah tepatnya ada berapa ruangan di lantai dasar dan lantai dua, saya hanya berhasil menyusuri lantai dua dan itupun baru bertengger di 2 ruangan. Room 14 dan room 25 kalo ga salah (ruangan lain cuma melewati doank pas tersesat tea 😅). Room 14 yang berisi buku-buku bergenre psychology, social and politic kalo ga salah (kertas direksinya lupa nyimpen dimana hehehe). Dan room 25 nya hobbies yakni fotografi dan interior (dan beberapa hobi lainnya seperti seni dll) ulalaaaaaa ... surga dunia bikin mata berbinar sayang dompetnya isinya tipis wkwkwkwwk.
Saya tadinya berharap bisa menyempatkan liat-liat ke bagian buku anak-anak. Sayang, 75 menit waktu yang sangat pendek wisata 'rohani' seperti ini. Jadilah saya berniat untuk kesini lagi meskipun saya tau, Pak Suami butuh perjuangan untuk berkendara ke wilayah German Village ini. Jalanan ke downtown memang agak tricky, kalo ga hati-hati baca GPS, waktu kita bisa terbuang di jalan karena muter dan muter dan muter akibat salah jalur 😅.
Terus beli buku apa? Hahahaha ... malu ah ... yang pasti kita maksa banget buat beli buku. Maksa karena ga enak kalo keluar tanpa membeli #mentalorangIndonesiabangets. Ya andai ada budgetnya (kala itu beasiswa belon turun coi huft) saya sangat tertarik membeli beberapa buku terkait fotografi dan desain interior buat inspirasi (dan akhirnya dibeliin suami via amazon wkwkwkwk karena katanya harga di Amazon lebih murah 😂) dan suami juga sangat tertarik untuk membeli buku-bukunya kakek Piaget dan lagi-lagi belinya di Amazon. Trus di bookloft nya beli apa neng? Beli postcard sama beli buku coloring therapy sama buku Dan Brown yang harganya kok ya murah bingits cuma $7. Padahal bukan pecinta karya nya doi #ngiks. (maksa beli buku kan judulnya 😆🙈)
Perlahan, melihat buku-buku berjajar indah di sepanjang labirin The Book Loft of German Village membuat saya semakin tersemangati untuk kembali mencoba menjadi pecinta baca (saya aja jatuh cinta apalagi para pecinta buku sejati). Tak sekedar buku tapi membacanya. Dan meskipun jaman now kita bisa membaca dimana saja, bahkan saya bisa membaca aura wajah anda 😎 ... tetap saja membaca buku membuka jendela dunia itu memang ajib dalem maknanya. Paling tidak ini mah ya, dengan membaca membuat saya jadi ada topik pembicaraan ketika berada di kelas-kelas diskusi yang saya ikuti. Paling tidak lagi, dengan membaca jadi tau dunia tuh lagi heboh apa ... dan dengan membaca jadi tau juga banyak tokoh dan aneka macam hal di dunia ini yang membuat hidup kita jauh lebih hidup karena merasa deket lewat tulisan-tulisan keren orang keren dunia. Pun bisa kasih pelajaran tak langsung juga ke anak-anak bahwa buku itu tak cuma buat kamuuuu, tapi juga buat umi dan abi #curhatlagi (efek budget buku selalu habis buat anak-anak #ngok)
Tell me tell me ya kalo ada info toko buku serupa di Indonesia (yang gemes liat saya pake bahasa campur-campur plis jangan dikritisi. Ceritanya biar aseeeeek 😎 #mintakdijitak). Saya cuma tau toko buku bekas palasari, tapi asli bikin saya ga nyaman bin sesek. Togamas masih mending. Tapi masih aaaaah belum membuat saya jatuh cintrong kecuali perihal harga kali yaks 😆. Gramedia ... hmmmm ... Paling ga di gramed bisa baca gratis sambil selonjoran di lantai.
NB: The Bookloft ini ga akan bikin orang-orang dengan pobia tertentu suka. Misal yang pobia labirin, tempat sempit, tempat sepi.
Salam!
dari Columbus
25 Januari 2018
pukul 12.07 am est
aaaaaak. saya juga bukan pecinta buku (lebih suka komik sih 😅)
BalasHapustapi kayaknya kalo masuk ke Indonesia toko buku model bookloft gini kayaknya bakal mahal ya tapi bikin seneng yang masuk.
kacida pisan urang bandungna he he (da nyebut palasari)
perpus di Indonesia ya... sudah pernah datang ke Bapusibda yang di Kawaluyaan? kalo koleksi buku ya... saya ga tau sih karena kalau untuk kebahasaan masih agak jarang (apalagi buku bahasa Asingnya, hu hu) tapi kalau sekadar buat ngajak anak baca mungkin masih oke. ada ruang khusus bacaan anak-anak juga soalnya.
ih komik kan juga buku .. aku boro2 .. semenarik komik aja ga dibaca hahaha
Hapusthe bookloft ini sebenernya toko buku biasa sih ... penataannya aja yg apik dan menarik ... labirin2 yg bikin ngerasa deket sama buku .. ga merasa jauh meski harga mahal dan semua bahasa inggris hahaha
aq lum pernah ngobrak ngabrik perpus di bandung .. nomaden kehidupan lalu membuat aku ga kepikiran buat main ke sana .. banter2 main ke taman depan rumah hahahaha #baladaemakberanakkembar 😅😅😅
katanya pustakalana di bandung oke teh.. perpus menteng dan tmii juga ok. tp belum pernah dtg langsung sih, kecuali yg tmii. emang kecintaan sm buku itu tercermin dari banyaknya perpus dan toko buku asik ya hehe
BalasHapusyg tmii pernah liat postingan temen.. iya keren .. mudah2an pas balik makin byk yg keren2 .. aq lbh tertarik sama penataan buku yg rapi sih ketimbang ketersediaan ruangan menarik full dekorasi misalnya .. hahaha .. itu nilai plus aja.. ditmbah kl misal ada ruang khusus anak.. fasilitas yg enak.. makin aja menarik itu .. ke bookloft anak2 kayanya ga suka deh krn sepi 😅
HapusAaahh jadi pengen kesana... kalo disini sih buat baca paling enak ke state library of Victoria. Tapi baca di library kampus pun oke kok!
BalasHapusayo kesini ikut conference hehehe modus ala mahasiswa kalo mau jalan2 wwkwkwkwk ... disini perpus kampus nya juga cozy ... cuma belum bisa menikmati selama anak2 sekolahnya cuma 3 jam ... ga cukup waktunya ... habis dijalan udah harus jemput anak-anak hihihihi
Hapuskalau ke toko buku itu biasanya cari spot. kalau cozy bakal betah. hehe
BalasHapussalam kenal
-dedeph- 1m1c
iya betul.. tp kl trlalu cozy aku bisa suka ngantuk saking enakeun nya 😂😂😂😂 teh dedeoh yg doyan india kan ya? salam kenal jugak 🤗🤗🤗 makasi ya udah berkunjung 😘
Hapus