Lesson Plan (LP) atau Perencanaan Pembelajaran (PP) dibuat tentunya untuk menjaga pembelajaran agar sesuai tujuan yang direncanakan atau hendak dicapai berdasarkan kurikulum. Kalo di sekolah-sekolah, guru merancang PP berdasarkan kurikulum. Dulu jaman prkatek ngajar, sekitar 7 tahun yang lalu, kalo ga salah masih Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Guru hanya mengembangkan aktivitas pake kurikulum yang sudah disediakan pemerintah. Enak ya udah ada kurikulumnya.
Hmmm ... saya pribadi bukan tipe orang yang cepat puas dalam merancang. Tapi tipe yang cepat cape alias menyerah saat mentok (dan ini jelek). Jadi, disaat dulu saya membuat Rancangan Perencanaan Pembelajaran (RPP) saya merasa kurikulum yang ditawarkan tidak beriringan dengan kebutuhan siswa saya saat itu. Jadilah saat itu saya sedikit modifikasi aktivitas di dalam RPP yang menyesuaikan dengan kebutuhan siswa. Namun sayang, kesempatan ngajar tidak diberikan full kepada kami mahasiswa magang (red: guru atau dosen pamong nya luar biasa rajinnya beliau. Salam takzim saya kepada Ibu Gande). Karena memang sedikit banyaknya mahasiswa magang jadi agak 'mengacaukan' tujuan akhir (persiapan UAS) terutama bagi guru-guru perfeksionis (dalam artian positif ya). Meski di beberapa sekolah banyak teman saya yang malah berlaku sebaliknya. Guru magang dimanfaatkan se manfaat-manfaat nya (cenderung negatif) dan dosen pamong bisa nyantai (poin ini ga untuk dibahas ya ... hehehe...karena kasuistik :* )
Balik lagi ke bahasan LP. Kemaren saya sempet nanya ke suami. "Bi, aku tu bikin beginian karena masih ada jiwa gurunya (pengalaman ngajar di SMK, ST, PAUD... tapi pengalaman ini ga ada yang nyampe 1 semester saking mobilenya hidup gueeee #mobilepapagalau :P ) Apa emang murni bakat ku butuh?" Suami lempeng menjawab "mix".
Hmmm, iya sih, bisa jadi. Dan saya mulai berfikir bahwa membuat LP seolah gampang tapi membutuhkan input tentunya. Jadilah saya coba ingat-ingat lagi proses sebelum saya memutuskan membuat LP.
Alkisaaaaah ...
Hehehe...
Sekitar tahun 2013, dimana saya saat itu tengah hamil, sharinglah saya dengan beberapa orang teman (teman yang hamilnya cuma 1). Dari sharingan itu, saya berfikir bahwa penting buat saya untuk membangun pemikiran positif selama kehamilan. Terlebih kehamilan saya termasuk kehamilan beresiko (red: hamil kembar). Harusnya disaat itu saya sadar ya, bahwa intinya, wanita ketika dikasih hamil berarti dikasih waktu dan kesempatan lebih sama Allah untuk belajar lebih banyak dan giat lagi. Karena ada calon manusia di dalam perutnya yang menunggu dididik dan diasuh dengan cara dan metoda terbaik. Sayangnya saat itu saya hanya berfikir "bagaimana caranya, saya ga stress dan ga lahiran sebelum HPL". Karena belajarnya baru dari kehamilan 4 bulan dan getol di UK 6 bulan ditambah bisik-bisik mitos dari para pendahulu ... saya pun gagal mempertahankan perut drumband yang UK 7 bulan looks 9 bulan #lol. Akhirnya launching di UK 31 jalan 32.
Eh kok jadi kisah pregnancy ini teh ...
Tenang-tenang. Cerita bermula dari sini. Pesan nya ada pada awalan kisah. Karena ternyata, telat belajar untuk menjadi ibu sedikit banyaknya membuat kita kebingungan dalam mengasuh anak. Terlebih anak nya langsung 2. Jangankan milestone anak yang terpikirkan. Udah bisa ngeASI dengan bahagia aja udah syukur berlipat. Dan mulailah babak perASIan saya yang drama yang menyumbang sedikit banyaknya kegalauan dalam hidup saya. Yang sedikit banyaknya membuat saya kurang peka apa itu tahapan tumbuh kembang anak. Hingga sampailah waktu dimana anak-anak berusia 1 tahun. Menjelang Abinya pulang dari negeri antah berantah.
Anak-anak belum bisa jalan. Padahal udah 13 mau 14 bulan. (Kekhawatiran 1)
Anak-anak ngomongnya aneh, belum berbentuk frasa apalagi kata (kekhawatiran 2)
Anak-anak bla ble blo (beruntun kekhawatiran demi kekhawatiran)
Hingga saya berfikir saya harus banyak baca. Banyak belajar. Ok, gabung grup mama-mama profesional. Belajar lagi. Buka-buka artikel dari pakar A sampe Z. Lalu? Saya semakin menjadi ibu-ibu baper nan sensitif dan sedikit membuat tertekan. Efeknya? Ya ke anak-anak.
Secara ilmu saya tau bahwa anak usia 1 tahun ke atas mulai lasak. Sayangnya, saya baru tahu bahwa namanya adalah masa kritis. Masa dimana sel-sel otak anak berkembang pesat di beberapa bagian yang membantu anak tumbuh baik dalam hal ini atau itu (saya lupa istilahnya. Takut salah kalo nyebutin. Dan kelemahan saya ya di peristilahan, makanya di catet juga teori yang saya rasa penting saya ingat di buku Rekam Jejak anak-anak). Sehingga apa yang saya lakukan? Pelarangan demi pelarangan. Dan saya tau hal itu kurang tepat saya lakukan. Dan benarlah, faktor ekonomi menjadi salah satu faktor kepanikan saya. Dimana ketika cairan pem-pel yang masih baru 1 kali pakai dan sudah disimpan jauh tapi tetap ditemukan anak-anak dan berhasil mereka buka dan mereka mainkan bersama itu menjadi momen awal dimana saya berhasil marah kepada anak-anak. Yang terbayang saat itu adalah harga cairan pel itu dan gaji plus posisi suami yang masih entah dimana rimbanya. Dan saya yakin setiap kita, almost, memiliki kisah kepanikan berlatarbelakang ekonomi ini.
Hari berganti hari dan anak-anak semakin tumbuh dan berkembang sesuai titah tuhannya, Allah ta'ala. Tak peduli saya sebagai ibu peka atau tidak dalam tumbuh kembang anak. Mereka tumbuh... tumbuh... dan tumbuh... .
Apa benar-benar tidak ada sama sekali hal positif yang saya transfer kepada anak-anak? Tentu ada. Namun tidak dalam kesadaran penuh. Lho, kan kamu full time stay at home Mom? Iya betul. Namun ketika anugerah dan rahmat berupa sabar dan syukur belum peka saya rasakan, maka sampai saat itulah saya akan terus menjadi ibu yang panik dan tidak terencana (red: ga sadar-sadar).
Pelik memang menceritakan nya. Karena pasti akan multipersepsi. Saya disini hanya ingin berbagi proses panjang saya, dimana ternyata banyak hal yang selama ini saya skip. Bukan sekedar belajar tentang tumbuh kembang anak atau ilmu parenting endebla endeblo nya. Namun lebih kepada ilmu mengenal diri sendiri.
Sadar atau tidak, banyak hal yang belum saya kenali dari diri saya sendiri. Dan proses panjang berawal dari kehamilan sampai sekarang membuat saya semakin merasa digiring Allah menuju hal dimana ternyata bagian dari doa-doa saya. Semakin hari semakin banyak 'oh ini, oh itu ... oh ternyata ini tu ini, itu tu itu". Yang artinya baru saya ngeh padahal Allah udah kasih clue jauuuuuuuuuuuuuh hari, bahkan mungkin sesaat setelah saya berdoa. Misalkan doa ketika saya sangat sangat panik menghadapi tingkah anak-anak yang saya pandang belum komunikatif (doanya, ya Allah ... augerahkan hamba anak-anak yang komunikatif #lebihkuranggitu) padahal saya tau bahwa anak, usia berapapun itu bahkan ketika dalam kandungan pun sudah mengerti apa yang kita ucapkan (red: sudah komunikatif). Alhamdulillah sekarang doa itu diijabah bahwa anak-anak tumbuh komunikatif meski tetap ada koreksi efek dari tindakan tidak berilmu saya sebelumnya. :(
Ternyata mengahadapi manusia nyata yang ada dihadapan selama 24 jam tidak semudah mengasuh adik ataupun ponakan yang hanya bertemu dan diasuh sesekali. Ibu-anak-ayah. Terlalu banyak ikatan didalamnya yang jika tidak diatur akan banyak simpul yang skak dan terbuhul mati membuat keruwetan sehingga berubahlah menjadi benang kusut.
Lalu bagaimana lesson plan bermula?
Dari cerita di atas lah LP bermula. Berfikir semakin hari benang terasa semakin kusut. Informasi yang dipelajari berasa sudah sangat-sangat banyak. Namun selalu mentok dalam realisasi. Ide juga sudah menumpuk, namun menyerah saat merasa sudah kalah. Ah ... lalu apa yang sebenarnya saya butuhkan? #\@&@_$:$*$£=;#?@¥+@!#*#
TUJUAN!!!!
Saya coba mengurutkan pertanyaan demi pertanyaan memgenai tujuan ini ... karena saya tau, hal yang paling berbahaya itu adalah niat. Kalo niat udah belok, mau niat ngebangun masjid bisa berubah ngebangun mall. Oke! Saya list urutkan dari yang terkini.
? kenapa saya butuh ide bermain sama anak-anak seperti halnya orang-orang
? Kenapa harus ide bermain, bukan yang lain
? Jika ada ide bermain, main seperti apa
? Yakin anak-anak butuh ide bermain
? Apa buat show off aja
? Atau buat kepentingan dokumentasi aja
? Jangan-jangan buat pencitraan
Pertanyaan semakin menukik dan menyudutkan diri saya sendiri ... hingga saya menyerah dan butuh diskusi. Alhamdulillah kesempatan diskusi datang dengan 2 orang. Pertama suami, kedua sahabat berbagi saya (no mention needed. Biar jadi amal jariyah orangnya :* )
Setelah diskusi, sedikit pencerahan. Namun tetap saja, eksekusi ada ditangan saya atas kuasa Allah. Dan hati pun menjerit ... ya Allah .... (berdoa pun dimulai).
Inilah yan dinamakan ... ikhtiar fisik berpadu doa untuk menjemput takdir terbaik dari Allah, menurut Allah. Bukan menurut saya. Dan proses paduan 3 hal ini sampai sekarang masih berlangsung, sehingga tulisan ini dibuat saya masih dalam proses. Karena hasil, nanti, di akhirat, disaat tapak-tapak kaki mungil anak-anak berubah membaur bersama kami (saya dan suami) aaamiiin... sehidup sesurga ceritanya ...
Antara ikhtiar, doa, dan takdir
Udah kaya judul pilem aje yeeee ... hehehehe ...
Untuk menjemput takdir terbaik itu, saya akhirnya merangkum apa-apa saja materi yang saya butuh. Saya menyebutnya berbasis tujuan.
? Tujuan rangkum materi. Ya untuk belajar
? Tujuan belajar. Ya untuk ikhtiar
? Tujuan ikhtiar. Ya untuk jemput takdir terbaik
? Takdir seperti apa. Dianugerahkan sehidup sesurga sekeluarga
? Cara sehidup sesurga. Ya jaga amanah Allah dengan baik kolaborasi sama pasangan
? Cara jaga amanah Allah. Ya asuhlah sesuai fitrahnya
? Fitrah apa aja. (Jawabannya 5 fitrah anak by Ibu Septy)
? Trus kalo udah sesuai fitrahnya.
Jleb! Saya mentok. Saya sampe udah nempel-nempel beberapa materi dan kata-kata yang saya rasa perlu sebagai cara sublimasi diri #hehehe. Namun masih belum optimal. Saya butuh hal yang lebih.
Ca baca ... kum rangkum ... sesekali males dan si diskusi. Dan diskusi tetap sama orang yang sama. Kalo suami sih udah biasa direpotkan dengan pikiran saya yang kompleks dan njelimet. Kalo teman saya ini, duuuuh terimakasih banget sobaaaaaat ... banyak jalan inspirasi yang dirimu hadirkan ... semoga berkah dan jadi amalan jariyah ya fren. Dan panjang ya ternyata perjalanan bikin LP doank #lol
Berkat kuasa Allah... saya digiring olehNya untuk membuka laman grup FB keluarga nya bu Elly Risman. Jreng jreng jreng. Saya ga baca karena nyecroll artikel nya nyambi masak. Seperti biasa, artikel bagus saya inbox ke suami karena saya FB an dengan gadget yang berbeda dari gadget WA, Line dkk (bukan karena banyak gadget, tapi untuk meminimalisir kecanduan FB :P ). Dan artikel-artikel itu suami yang baca awalnya. Atas izin Allah tumbenannya kami diskusi soal parenting. Share lah suami tentang apa yang dibacanya, singkat cerita, darisini lah akhirnya saya getol lagi baca-baca dan merangkum teori-teori hanya sekedar merumuskan kurikulum yang kami sekeluarga butuhkan. Yups! SEKELUARGA. Bukan anak-anak saja ... hehehe ...
Rakitan kurikulum udah ada ... tapi otak saya ga nyampe buat nyambung-nyambungin nya kalo ga ada manual instruction... hehehe ... ya Allah ya rabbi ... berasa dapet air di padang sahara, sobat saya tadi posting kurikulum anaknya doooooonk. Simple. Dan to the point! Dan yang pasti saya butuh. Jadilah saya minta jepretin. Mulailah saya racik padanan hasil ikhtiar ini menjadi sebuah catatan kecil yang anggap saja nama nya kurikulum (dan sampe sekarang masih dimatangkan terus karena kalo nunggu kurikulum matang standar pemerintah ... anak-anak keburu gede :P ) ... Lahirlah buku REKAM JEJAK: Enjoy The Little Things.
Satu minggu alias 6 hari menjalankan nya ... jatuh bangun dan berat. Diimbangi dengan proyek menulis 1 hari 1 tulisan sebagai sampah emosi cukup membantu saya untuk bangkit ketika jatuh dalam lelah. 2 bulan put! Kata sobat saya itu. Cukup 2 bulan kamu konsisten, in sya Allah. Akan mengalir lebih deras untuk bulan berikutnya (red: ide kreatifitas bermain). Dan setelah 1 tahun mulai akan kerasa hasilnya (disini hasilnya maksudnya, dampak positif ya. Anak-anak akan free screen total dan ketagihan akut dengan bermain kreatif berbasis tujuan ini).
In sya Allah. Toh jika pun tidak mengambil konsekuensi 2 bulan konsisten ini akan ada konsekuensi logis di depan sana yang siap menanti. Karena sesungguhnya anak adalah amanah, bersamanya ada kesenangan, dan bersama nya ada ujian. Semoga langkah-langkah kita dimudahkan oleh Allah dalam ikhtiar menjemput takdir terbaik dariNya. Mohon sempurnakan dengan doa untuk ku para pembaca semua. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Nb: saya sangat senang diskusi, jadi feel free untuk diskusi via japri japro japru ya ... alias bebas via mana aja ... hehehe ...
Columbus, 7 Januari 2017