Disclaimer, bahwa saya bukanlah psikolog ataupun terapis. Saya hanyalah ibu biasa yang memiliki 2 orang anak kembar. Tulisan ini saya buat satu tahun lalu untuk membantu diri saya menyelesaikan rasa sesak yang selalu mengganggu dada ketika saya menghadapi anak-anak.
Selamat membaca :)
***
Beberapa hari ini saya berkutat mikirin innerchild mulu. Sampe sok-sok an bikin resume tentang innerchild.
Pelan-pelan saya coba analisis permasalahan masa lalu yang kemungkinan masih menempel di otak saya yang mempengaruhi emosi di saat-saat tertentu. Tertenangkan? Iya sedikit. Damai? Lumayan. Tapi jujur saya masih penasaran secara profesional, innerchild ini seperti apa seharusnya diselesaikan.
Gayung bersambut, ada yang nawarin terapi innerchild jarak jauh. Cukup ikutin panduan di lembar workshop nya. Ya sudah saya lakukan. (Bagi yang tertarik terapi bisa liat kontak di akhir tulisan ya ... barangkali ada yang butuh)
Hasilnya? Saya cukup kaget. Ternyata memori masa lalu yang saya fikir sudah saya lupakan dan maafkan itu muncul sekonyong-konyong. Memori yang jadi
concern saya selama menjadi ibu-untuk dilupakan dan diubah sehingga tidak menjadi kutukan 7 turunan- tetiba muncul. Apa itu? Memori dimana saya 'dimarahi' di masa lampau saya oleh orang tua saya. Ingat kan tulisan saya "
memutus mata rantai marah"? Kalo pembaca setia pasti tau hehehe (tulisan yang buktiin kalo saya fokus mau tuntasin masalah ini dalam diri dan keluarga saya)
Bermain dengan masa lalu
Nah, teman-teman pasti punya masalalu kan ya. Setiap orang pasti memiliki penyikapan yang berbeda dengan memori masa lalu nya. Ada yang sudah berdamai, ada yang mencoba berdamai, atau ada yang belum berdamai bahkan.
Sebelum mendapat kesempatan terapi ini, saya mencoba memahami apa itu inner child. Sehingga munculah tulisan saya mengenai
inner child. Dengan input teori yang saya punya, membuat saya bermain dengan masa lalu saya. Kemudian saya coba lanjut memahami istilah-istilah yang muncul dalam teori yang ada. Dan saya coba koneksikan sepaham dan semampu saya. Saya kolaborasikan dengan hasil diskusi dengan seorang teman dan terapis (sok gaya amat yak hehehe)
Baca juga:
Anak Main Orang Tua Belajar
Apa itu innerchild?
Sedikit saya bantu munculkan kembali apa itu innerchild dengan sebuah contoh.
Misal, dulu kamu sering di bully di sekolah bahkan di lingkungan rumah juga. Dimemori kamu tersimpan peristiwa kamu di bully tersebut. Saat terjadi peristiwa tersebut, pasti ada emosi yang tercipta, apakah itu sedih, malu, marah, atau mungkin dendam. Kemudian seiring berjalannya waktu, memori ini tersimpan karena kita sudah beranjak dewasa. Tidak ada lagi yang membully. Tapi tahukah kamu, bahwa apa yang tercipta saat itu akan selalu tersimpan dalam memori mu. Jika memori ini mendominasi masa lalu kamu dan mempengaruhi salah satu ego state kamu sehingga ego state ini menjadi bermasalah atau trauma, maka kemungkinan besar innerchild bisa muncul disaat dewasa dengan ego state bermasalah ini. Kapan munculnya? Saat ada kondisi dimana kamu merasa bermasalah.
Apa itu ego state?
Ego state juga disebut ego personal. Tau kan ego apa? Personal? Nah, kalo disederhanakan, ego personal atau ego state ini merupakan sesuatu yang sudah ada di dalam diri kita sejak kita lahir. Kalo boleh saya sambungkan dengan teori parenting yang pernah saya dapatkan tentang 5 fitrah anak, nah ego state ini bisa juga kita sebut fitrah (sesuatu yang sudah ada sejak lahir).
Jika ilmu parenting membagi fitrah anak menjadi 5 (fitrah keimanan, belajar, perkembangan, bakat, dan seksualitas), nah saya sendiri belum menemukan ada berapa jenis ego state ini. Kalo mau pake referensi film
'Inside Out', ada 5 ego state yang divisualkan dalam film tersebut, yaitu joy (kesenangan), sadness (kesedihan), disgust (jijik), fear(takut) dan angry (marah).
Baca juga:
Sibling Rivalry
Awal saya menganalisis
Kapan kita mengetahui bahwa ada yang salah pada diri kita? Ga jarang kan kita merasa baik-baik saja. Merasa kehidupan normal-normal saja atau bahkan ga bermasalah. Lalu apa yang harus dianalisis untuk ditenangkan dan didamaikan?
Ya balik lagi sih ke persepsi dan input ilmu pengetahuan (yang ini sok banget dah #hahaha) plus ga semua orang juga kan aware sama kebutuhan psikis dirinya sendiri karena berbagai macam faktor. Misal karena faktor kesibukan, rutinitas, atau memang tidak memiliki trauma yang significant yang bisa memunculkan innerchild. Artinya, balik lagi kepada apa yang kita rasa. Pertanyaan simple nya, "Lo kenapa?"
Terus kenapa saya menganalisis innerchild saya? Apa yang saya rasakan? Apa yang terjadi? Bukankah kehidupan saya smooth bahkan ga butuh perjuangan dan pengorbanan keras seperti halnya orang-orang.
Hop! Balik lagi ke personal ya. Ini masalah pribadi, jadi ga bisa di compare sama orang lain. Jadi jika kamu penasaran dengan ego state mu, dan penasaran dengan inner child mu, maka beranilah jujur dengan apa yang terjadi pada dirimu. Kejujuran inilah yang kemudian mengantarkan saya pada analisis awal tentang 'kekeliruan' yang bertengger di relung jiwa saya #halllaaaaah #plak
Cara analisis
Caranya sih sederhana. Tanyakan apa yang kamu rasa salah pada dirimu. Nurani pasti berkata jujur. Saya pribadi sih waktu itu merasa risih dengan sifat pemarahnya saya ke anak-anak. Kalo marah ke anak-anak berasa muka berubah jadi wajah papa sama mama waktu marahin saya. Tak jarang tindakan yang saya lakukan ke anak-anak juga sama dengan apa yang orang tua saya dulu lakukan. Setelah marah-marah? Ya pasti nyesel lah. Sedih, kacau, galau, merasa jadi orang tua paling buruk sedunia. Pikiran melayang pada perenungan "ih kan anak-anak masih kecil bangeeeeet. Saya dulu dimarahin sama mama papa kan pas udah besar (memori masa kecil saya mulai tersimpan kuat setelah umur 5 tahun, sebelum umur 5 tahun saya tidak ingat)". Nah tapi tiba-tiba pikiran lain berkata "adikmu aja dari umur 2 tahun kurang udah dibentak-bentak sama papa mu. Jangan-jangan kamu juga digituin dulunya, kamu aja yang ga inget".
Begitu terus. Pikiran menggentayangi silih berganti seperti angel and devil.
Saya coba analisis, kenapa sifat ini baru muncul setelah saya memiliki anak. Padahal sebelum menjadi ibu, semarah-marahnya saya tidak pernah main fisik atau membentak dan menghardik. Semarah-marah nya saya sebelum menjadi ibu, hanya dengan diam (dan saya baru sadar bahwa saya pernah marah dengan adik saya dengan menggunakan fisik. Percis dengan apa yang papa saya lakukan. Ini terkait ya nanti dengan hasil terapi).
Nah apa hasil analisis saya terhadap sifat ini? Hasil analisis saya waktu itu:
1) perubahan peran yang significant dari seorang anak menjadi seorang istri dan ibu.
Jika dulu saya hanya memikirkan diri saya sendiri, setelah berkeluarga semua terbagi ke anak dan suami. Dalam waktu bersamaan harus mampu memenuhi kewajiban sebagai istri dan ibu plus memenuhi keinginan diri.
2) perubahan aktivitas yang significant dari seorang organisatoris yang sibuk di luar menjadi istri dan ibu yang ngendon di rumah.
Jika dulu saya bebas eksplorasi kemana pun dan kapan pun, setelah berkeluarga tentunya secara sadar saya harus menjalankan 'tugas negara' yang sedikit banyak merubah kondisi aktivitas saya dalam eksplorasi.
2 poin analisis pembentukan sifat pemarah ini sering saya namai dengan postpowersyndrome. Sindrom dimana seseorang merasa kehilangan power atau kekuatannya seperti kekuatan mengatur diri sendiri.... hehehe. Yang dulu punya kuasa penuh terhadap diri sendiri, sekarang harus dikuasai tugas sebagai istri dan ibu (misaaaaaal).
Setelah memperoleh 2 poin di atas, kemudian saya telaah lagi apa yang saya butuhkan. Jawabannya "me time". Setelah saya coba realisasikan dengan memiliki waktu untuk diri sendiri yang lumayan intens dan cukup lama, tetap saja saya merasa masalah utamanya belum selesai. Krik krik #ngatung
Ada yang salah. Apa ini yang salah???
Baca juga:
Me Time
Analisis masa lalu
Mengambil pelajaran dari teori yang saya dapatkan, bahwa memori masa lalu tercipta bersama emosi, tindakan dan emosi itu bisa muncul kembali percis seperti ketika memori itu dibuat. Bisa jadi perasaan yang muncul ketika saya memarahi anak-anak yang merasa berubah menjelma menjadi sosok orang tua saya di masa lalu sebagai wujud bahwa ada ego state yang trauma dengan memori itu, sehingga saat memori itu dimunculkan, emosi dan tindakan yang dikeluarkan percis dengan kejadian saat memori itu diciptakan.
Makanya ga jarang kan kita merasa kaya mengulangi kekeliruan apa yang ortu kita lakukan. Ya karena memang begitulah. Memorinya nempel. Meski kita merasa 'udah lupa tuh' tetapi ternyata kita belum mendamaikannya. Nah mendamaikan dan menenangkan ego state inilah yang sering kita gagal paham. Karena karakter kita sebagai manusia dewasa menganggap masa lalu sebagai pelajaran hanya melupakan bagian pahit dari masa lalu tapi lupa menenangkan bagian terdalam dari masa lalu itu sendiri (ego state tadi).
Ingat ya, menenangkan dan mendamaikan ego state nya, bukan melupakan memori nya. Karena semakin dilupakan akan semakin ingat. Moment pengingatnya kan kita ga bisa kontrol. :)
Self healing inner child
Ternyata meski sudah memahami sedikit banyaknya tentang inner child, dan bahkan sebelum terapi saya sudah merasa 'baikan' dan stabil (terbukti dengan kontrol emosi saya meningkat), yang namanya terapi tetaplah dibutuhkan jika memang ingin dibantu untuk ditenangkan. Dalam terapi ada alur yang diciptakan sehingga menggiring saya (sebagai yang diterapi) untuk menggambarkan dan menuliskan apa yang diminta oleh terapis (karena saya self healing, terapis nya ya saya. Tapi tetep butuh diskusi lanjut sama terapis beneranya mah.. hehehe). Alur inilah yang seolah mengumpulkan memori yang membuat trauma pada ego state saya yang bermasalah. Ego state yang bermasalah ini kemudian dibantu ditenangkan oleh ego state lain yang bisa membantu.
Secara umum, apa yang saya analisis dengan apa yang diterapi saling terkait. Hanya saja, yang namanya terapi, sesuatu digali lebih dalam. Sementara dalam analisis saya, saya hanya mampu menyentuh permukaan dari permasalah utamanya. Hal ini bisa terlihat dari perbandingan analisis saya dengan self healing saya menggunakan panduan dari terapis.
♥hasil analisis
post power syndrome (permasalahan muncul dipandang karena faktor internal, dari dalam diri sendiri >> sebagai solusi muncullah keinginan 'me time'
♥hasil terapi
ego state bermasalah (permasalahan muncul dipandang karena faktor eksternal di masa lalu, tersimpan dalam memori >> sebagai solusi ego state butuh ditenangkan
Analisis pemicu iner child
Pasca terapi, saya ditanya,
"
kapan masalah kamu kepicu buat muncul?" Saya jawab:
1) kalo anak-anak lagi rewel tingkat dewa
2) kalo suami lagi ga peka sama saya sehingga saya merasa sendiri
Baca juga:
Kembar oh Kembar
Yang dirasain?
Pengen marah dan ngamuk terus pergi dari orang yang ada disekitar saya. Pengen sendiri. Percis jaman saya kecil dulu.. kalo papa lg marah.. saya sembunyi..
2 poin pemicu ini ga sesederhana dibahasakan ya ... ada kondisi dimana kita sebagai individu menjadi mumet sehingga hal sederhana muncul sebagai pemicunya. Dan 2 hal inilah yang saya pikir mendominasi keseharian saya.
Rasanya masih gitu?
Nah ga tau nih... untuk poin 1, saya dah dapet caranya biar anak-anak ga rewel yaitu full attention.. dijamin mereka nice.
Untuk poin ke 2 juga dah nemu caranya yaitu dengan ngomong langsung ke suami.
Kesimpulan
★ Orang tua saya (mungkin kita anak-anak 80an) mendidik dengan cara apa yang mereka bisa. Perkembangan ilmu parenting seperti jaman sekarang dimana pendidikan anak dititik tekankan pada pendidikan dan kecerdasan orang tua belumlah in. Orang tua kita hanya menganut ilmu alamiah dari dalam diri mereka. Dimana mereka disaat yang bersamaan harus mendidik anak dengan baik dan juga harus berjuang melawan ego state mereka yang mungkin juga butuh untuk ditenangkan. Sehingga ketika orang tua kita sedang dalam masalah, tak jarang malah jadiin kita sasaran pelampiasan marah. Ditambah dengan karakteristik anak-anak yang memang suka bikin orang dewasa kesel dan jengkel.
Setuju ga, kalo jaman dulu, marah ke anak itu wajar. Tidak ada aturannya seperti sekarang dimana teriak ga boleh, diemin anak ga boleh. Jaman dulu marah nya orang tua tanda sayang sama anak. Demikian slogan pembenaran yang sering kita dengar kan? Selagi marahnya masih dalam koridor (ga sampe nyiksa anak mpe sekarat, misalnyal), semua boleh. Jadilah jaman dahulu mendidik anak sebatas transfer harapan dari pikiran orang tua ke anak. Maka disini muncullah yang namanya intervensi. Intervensi yang muncul ini wujud dari reaksi alami orang tua ketika melihat sang anak berada atau menuju arah jalan yang salah atau kurang tepat.
Makanya jaman dulu (lagi-lagi jaman dulu),
■ anak kecil manjat "eh jangan, nanti jatoh"
■ gedean dikit "belajar donk, belajar aja susah. Gimana mau ranking kelas!"
■ gedean dikit lagi "sekolah yang tinggi sampe sarjana biar sukses"
■ udah gede pun "jangan terlalu keras mendidik anak, ntar malah kaya kamu".
Nah lho ... akhirnya dan sebenarnya, orang tua kita dengan segenap keterbatasan (saya juga terbatas ya) menyadari kekeliruan yang mereka lakukan. Hanya saja input ilmu tadilah yang membuat mereka tidak menyadari kekeliruan tersebut. Kebayang kan kalo kita ga berilmu dalam mendidik anak maka akan ada mata rantai problem keluarga yang bakal jadi kutukan 7 turunan atau bahkan lebih???
★ Selain belajar dari masa lalu dan mengambil benang merah atas kekusutan yang ada dari orang tua kita, beberapa hal yang saya coba simpulkan setelah melalui self healing inner child adalah:
1) manajemen emosi itu perlu
2) profesional dalam memilah masalah itu harus
3) intervensi kepada anak jangan
4) treatment anak boleh
5) pasrah kepada Allah itu wajib
Karena sejatinya terapi inner child adalah terapi berkepanjangan yang selalu harus kita pantau perkembangannya. Terapi inner child bukanlah ketidakmampuan kita dalam mengendalikan diri karena lemahnya iman atau kurang nya kualitas dan kuantitas ibadah seseorang ataupun ketidakdewasaannya seseorang. Terapi inner child adalah bentuk kepedulian kita terhadap masa depan keturunan kita. Akan mewarisi kebaikan kah atau malah masih berkutat pada permasalahan ego state yang tak kunjung damai karena kita ignore dia. Inside out! Keluarkan apa yang seharusnya dikeluarkan. Gali lebih dalam di setiap lembar memori masa lalu kemudian bantu tenangkan. Mungkin sekarang kita merasa tidak bermasalah karena karakteristik kita sangat kuat sehingga mampu untuk sementara waktu membendung ego state bermasalah untuk keluar. Namun jika sudah memuncak, maka meledaklah dia. Daripada meledak diwaktu yang kita tidak inginkan, mending tenangkan dan damaikan selagi masih jinak.
★Jika perlu, terapi lah pada profesional. Karena self healing jika pake alat analisis yang kurang tepat yang pernah saya lakukan hasilnya juga jadi ga tepat. Makanya hasil analisis sana hasil terapi saya beda.
Nb:
Dalam mempelajari inner child ini saya berfikir, inilah mungkin penyebab kenapa saya masih melihat fenomena aneh dalam keseharian seperti:
* fenomena anggota dewan yang berantem kaya anak SMA >> bisa jadi kan ego state nya bermasalah jaman anak-anak dan muncul saat remaja (awal kenakalan remaja apa juga terkait kayanya sama ego state ini. Kemudian seolah terselesaikan dengan mendewasanya seseorang, namun tadi, tidak ditenangkan. Pas sidang dewan kepancing deh muncul lagi). Hehehe
* fenomena dimana makin banyak orang yang butuh di motivasi lewat acara-acara motivasi. Sering ga sih merasa habis ikut acara motivasi iya sih termotivasi, abis itu melempem lagi. Semangat kendor. Semangat menyala kalo ketemu orang yang memotivasi tadi aja. Bisa jadi kan kita gagal mengembangkan ego state pemberani kita saat kecil karena faktor tertentu. Kenapa tidak damaikan ego state ini, sehingga akhirnya kita berani untuk kembali menata mimpi
Columbus, October 4th, 2016
9.46 am .est
Kontak untuk terapi
Kak Idzma +62 813-2008-1141 (wa/sms/call)
di edit kembali pada tanggal 22 Januari 2018