Setelah sekian lama berhibernasi dengan pikiran berkecamuk penuh analisis untuk sekian banyak fakta yang perlahan jadi masalah, maka solusi tiba-tiba mendesak untuk dicarikan.
Oooooh. Asli otak saya serasa mau pecah untuk bisa memahami permasalahan utama dari sistem peradaban terkecil yang tengah saya (& suami) coba rintis yang bernama keluarga.
Bagaimana ga pusing???? Selama nafas masih berhembus, jantung masih memompa, artinya saya masih hidup, selama itu pulalah saya akan terus dihadapkan pada sebuah fenomena kehidupan dimana saya (yang bernama manusia) terus berfikir akannya. Akan hakikatnya dan hikmahnya. Kenapa begini .... kenapa begitu. Kenapa ini ... kenapa itu.
Dan tampaknya otak yang mulai tumpul dan hati yang sedikit mengeras ini perlahan-lahan bisa menajam dan melunak kembali setelah di reset ratusan kali #huft.
Jadi ini teh mau ngomongin apaaaaaaa???? Tenang pemirsah, biarkan saya curcol dulu :P
Begini. Saya coba menjabarkan sesistematis mungkin berdasarkan waktu kejadian perkara (kaya ngomongin kasus begini yaks) mengenai kecamukan otak saya efek dari membaca teori ideal tentang membangun keluarga, yang saya poinkan sebagai berikut:
1) memilih pasangan suami/istri yang siap menjadi ayah/ibu terbaik untuk calon anak-anak
2) meningkatkan kapasitas dan kualitas diri terutama kualitas keimanan dalam menanti kehadiran buah hati
3) menjalankan amanah baru sebagai orang tua yang dititipi Allah buah hati (titipan, jadi harus dijaga)
4) mendampingi perkembangan anak sesuai dengan fitrah baiknya
5) mendoakan selalu
5 poin di atas hasil kecamukan otak saya pribadi yang sedikit banyaknya memunculkan rasa bersalah yang sedikit demi sedikit muncul dari dalam hati. Dan untuk 5 poin ini lah saya namai diri saya dengan Sleeping Beauty.
Aaaaaaarrgh .... Selama ini saya merasa menjadi putri tidur yang menunggu kecupan seorang pangeran untuk terbangun. Iya sih pangeran saya datang ngebangunin pake banjur air "bangun miiiiii, jangan kebanyakan mikiiiir".
Hmmm ... Dalam arti kata, ternyata (lagi) saya terlalu banyak tidur dan akhirnya mengalami perlambatan dalam memahami ilmu yang berseliweran.
Tertohok banget pas baca (apa denger ya, lupa lagi) bisa jadi kita banyak ilmunya, tapi banyak ilmu kalo ga barokah? Ya percuma! Sedikit ilmu dan ga barokah lebih-lebih lagi... udah mana dikit, ga berkah pula.
Esensinya apa? Ya berkahnya. Agar ilmu yang didapat bisa terserap hingga akhirnya mampu tertuang dalam aplikasi perbuatan dan bahkan mewarnai kehidupan sekitar kita, butuh kesiapan hati di dalam nya #duhadeeeeeeeem
Ya Allah ... bantu hamba mengurai satu persatu benang pikiran yang berseliweran simpang siur ini ya Allah ... #curcollagi
Saya hanya mencoba menuliskan hasil refleksi diri tentang saya, suami, anak-anak. Dimana kami sekeluarga adalah miniatur peradaban yang sedang dibentuk.
Dari awal pernikahan hingga waktu sekarang dan bahkan sudah terfikirkan rancangan nya untuk waktu mendatang. Namun dalam perjalanannya, revisi demi revisi dilakukan seiring bertambahnya masukan ilmu.
Tapi sayang, lupa melihat titik keberkahan nya. Atau kalo pun berkah, lupa melihat faktor lain yang memberikan sedikit intervensi akan pembangunan peradaban mini ini. Sehingga membuat saya hanya menjalankan rutinitas hidup sebagai sebuah kebiasaan dan pembiasaan. Jika dibiarkan bisa berbahaya. Karena saya akan tertidur selamanya dalam kesalahan dan ketidakpekaan ini.
Sebenarnya poin apa sih yang menjadi titik permasalahan saya? Yaitu poin memahami ke-aku-an diri.
Menjadi individu yang terbiasa dengan aktivitas padat di luar rumah tentunya memberikan culture shock tersendiri kala berubah aktivitas yang cenderung monoton di dalam rumah. Di tambah aktivitas baru ini bukanlah sebuah agenda program ini atau itu dengan kepanitiaan segini dan segitu melainkan aktivitas dimana hanya ada 1 atau 2 orang panitia dengan objek program berupa orang, bukan kegiatan. Akhirnya muncullah demand baru berupa adaptasi.
Dalam proses adaptasi inilah ternyata sering membuat saya terlena dan tertidur. Bangun-bangun objek program saya sudah beranjak remaja. Evaluasi kinerja bisa saja dilakukan, tapi perbaikan aktivitas tidak bisa dilakukan di waktu ke depan mengingat program saya adalah mendidik anak manusia, bukan membuat sebuah acara atau event.
Sebenarnya saya pribadi mulai dibangunkan dari tidur panjang saya sejak saya memasuki usia kehamilan 6 bulan. Kala seorang sahabat berbagi ilmunya tentang gentle birth dan bercerita betapa janin pun bisa diajak komunikasi. Betapa janin pun sudah menuntut untuk diakui kehadirannya paling tidak oleh kedua orang tuanya.
Saat itu saya sangat tertarik mendengar sharing ilmu dari teman tersebut. Bahkan tak pikir panjang saya langsung membeli buku terkait psikologi ibu hamil termasuk salah satunya gentle birth dimana di buku tersebut dijelaskan mengenai apa itu gentle birth sehingga membuat kita akhirnya semakin dekat dengan calon bayi kita.
Setelah anak-anak lahir, saya pun sedikit lupa dengan ketertarikan saya dalam dunia parenting. Keyakinan akan kedekatan anak bisa terbangun sedini mungkin mulai diuji dengan permasalahan teknis yang berawal dari ASI, lanjut Mpasi dan seterusnya.
Kenyamanan teori kekinian berbenturan dengan realita yang saya hadapi membuat saya jatuh bangun dalam memaknai ilmu. Kadang diterima kadang ditolak. Kadang diresapi dan kadang dicemoohi. Begitu seterusnya silih berganti bak seorang pendosa yang belum melaksanakan tobatan nasuhanya.
Perlahan tapi pasti, seperti yang saya sampaikan di atas, karena saya manusia makanya saya berfikir, dan karena berfikir makanya saya memperoleh hikmah.
Perjalanan panjang ini berujung pada pertanyaan 'seberapa ikhlaskah kamu menerima sebuah ilmu?'.
Kecaman, judgement dan hal negatif lainnya ternyata secara tidak sadar merubah saya menjadi pribadi yang antipati. Nyaris skeptis untungnya ga anarkis dalam menghadapi sebuah perbedaan persepsi keilmuan. Kekakuan saya dalam menelaah ilmu baru, juga sedikit banyak membuat saya tidak enjoy dalam mengaplikasinnya sehingga membuat sedikit tersiksa.
Dan saat semua memuncak, disaat itulah saya tetiba kembali tertidur dan tidak mau ambil pusing dalam khazanah ilmu parenting yang sempat saya minati.
Menjadi sleeping beauty kembali, menjalani hari-hari berbekal nurani yang kadang didengar kadang diacuh. Sampai akhirnya saya kembali tersentak dengan cerita peterpan dan cinderrela.
Tertampar saat menyadari bahwa penolakan saya terhadap ilmu baru di dunia parenting adalah wujud penolakan diri agar tidak di salahkan atau agar terlihat menjadi ibu yang kece dengan 'jalan saya sendiri'.
Yah begitulah perjuangan unik dunia para ibu atau emak-emak. Rutinitas yang bertemankan benda mati berupa dapur, kasur dan cucian membuat para emak lupa mengasah intrapersonal dan interpersonal nya. Proses berfikir mandeg di arena anak dimana satu-satunya objek hidup yang rutin mereka temui.
Menjadi emak baru dengan segembol aktivitas baru yang suka bikin emak urban galau dan merasa butuh bekerja atau kuliah lagi inilah tantangan yang kalo bisa ditaklukan bisa menjelma jadi supermom.
Ah tapi ga butuh jadi supermom kalo ga ikhlas juga. Karena keikhlasan seseorang itu suatu saat akan diuji. Daripada sibuk mikirin yang ga pasti dan malah jadi sleeping beauty, mending sibukkan diri dengan meningkatkan kapasitas diri.
Mulai 0 KM kita dari sekarang, belajarlah ilmu dengan ikhlas, in sya Allah lebih bermakna.
Jadi 5 poin yang bikin rasa bersalah saya muncul terus itu gimana? Saya atasi dengan 0 KM saya. From zero to hero.
Sekarang masih waktunya menikmati proses :)
Colombus, 21 September, 2016
12.30 PM est.