Tertarik menulis tentang kedodolan saya yang satu ini ketimbang menulis review perjalanan. Singkat kok, bagi yang pengen tau betapa dodolnya saya berinteraksi sosial disini, makasi udah mau baca ... hehehe
Ini perantauan saya yang kedua. Sebelumnya saya merantau dari negeri Minang ke negeri Sunda sekitar 10 tahun yang lalu. Masih Indonesia, tapi saya memiliki perbedaan bahasa daerah dimana bahasa tersebut digunakan oleh penduduk lokal kebanyakan dalam berinteraksi sosial.
Sebagai penduduk baru, saya tentunya mencoba memahami apa saja kata atau kalimat yang sering digunakan di negri Sunda ini. Sampai pada akhirnya saya bertransaksi dengan salah seorang pedagang donat di sekitar masjid SALMAN ITB.
"Punten neng, lungsuran na teu acan aya. Masih pagi keneh" kata si bapak kepada saya saat menerima uang pecahan 50 ribuan.
"Sabaraha ciek pak?" Balas saya dengan sangat cepatnya dan pastinya spontan.
Sekonyong-konyong si bapak pun terbengong-bengong dan saya pun langsung memperbaiki ucapan saya.
"Eh, maksud saya harganya sabarahaeun Pak!"
Saat itu, saya yang baru 2 bulan di Bandung cukup mengerti dengan apa yang disampaikan si bapak. Namun memang baru sedikit saja kata dari bahasa Sunda yang saya gunakan dalam keseharian. Salah satunya kata 'sabaraha' yang mirip denga kata dalam bahasa Minang 'bara' yang artinya sama-sama 'berapa'.
Sekarang, diperantauan yang kedua ini, saya kembali menghadapi hal yang nyaris serupa. Tapi saya tentunya tidak bisa mengkoreksi ucapan saya menggunakan bahasa Indonesia. Karena di perantauan kedua ini yang terjadi tidak hanya perbedaan bahasa yang ekstrim, tapi perbedaan di segala lini kehidupan, termasuk perbedaan tinggi badan #eh
Belumlah saya sampai di negeri Paman Sam ini, saya sudah mencampur bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris. Mulai dari saat berinteraksi dengan Pramugari, hingga percakapan kecil dengan tetangga baru saya di tempat tinggal kami yang baru.
"What do you want to eat for dinner Madam?"
Sambil berfikir saya pun spontan mengucapkan "Beef ajah!"
"Pardon?" Kata si pramugari agak cengo.
"Oh sorry, I mean this one", saya mencoba memperbaiki dengan menunjuk menu yang tersedia.
Itulah salah satu contoh shock language (keterkejutan bahasa) yang saya alami dan saya ingat. Keterkejutan ini tentunya memiliki latar belakang yang nyaris sama, yaitu keterbatasan kemampuan bahasa baru.
Di Sunda saya mampu mengerti dari nol hingga menjadi pelafal aktif sekitar 4 tahun. Itupun tidak dalam konteks pelafal aktif dengan Sunda halus. Dan saya berharap, di Amerika ini saya mampu menempa kemampuan bahasa Inggris saya yang masih terbatas menjadi lebih baik dari kemampuan bahasa Sunda. Karena saat merantau di Sunda saya masih memiliki bahasa pelarian, bahasa pemersatu, bahasa Indonesia. Namun di sini, di negara yang tak lagi Indonesia, saya tidak memiliki bahasa alternatif melainkan hanya bahasa Inggris.
Eits dah, serius amat ini tulisan. Intinya kalo mau tau saya ngomongnya disini gimana, ya masih pabaletot. Sudah! Jangan dibahas soal latar belakang pendidikan saya yang SARJANA PENDIDIKAN jurusan Pendidikan Bahasa Inggris! Cukup tau ajah ga semua mahasiswa English Department punya produksi bahasa inggris yang bagus :P
Post Comment
Posting Komentar
Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗