Dirimu membuat ku selalu gagal berucap. Terlalu banyak hal yang membuatku semakin bersyukur.
Kekuranganmu yang selalu ku ungkit dan ingin ku untuk merubahnya ... tak pernah engkau sanggah. Lagi-lagi hanya maaf ... meski kadang ku bosan mendengar maaf mu.
Ah suami ... diri ini buruk, engkaulah yang mempoles ku hingga menjadi baik. Diri ini gegabah, dan engkau yang melatihnya sehingga berhati-hati. Dan diri ini manja hingga dirimu mendidik manjaku terjaga.
Cerewetnya aku mungkin tak jarang membuatmu kesal, bete, dan perasaan negatif lainnya. Namun caramu meredakannya ... tak membuatku meledak tak beraturan menyambar bak halilintar. Ah ... aku hanya tertegun. Engkau juga manusia. Bukankah kita dipasangkan untuk saling melengkapi kekurangan...
★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★
Sepenggal cerita yang entahlah bermakna atau tidak. Itu kisah saya pribadi. Dimengerti atau tidak, ya itulah perasaan saya saat ini. Saya tak akan mengumbar kemesraan. Karena hakikat nya pasangan halal bukanlah pengumbaran melainkan kasih sayang tak berbatas kata dan tindakan. Ada yang melebihi kata dan tindakan, bernama keyakinan.
Duh, saya tetiba merasa aneh dengan diri saya. Ingin sekali mengungkap bahwa bahagia itu tak selamanya seperti bahagia nya orang di sebelah kanan, kiri, depan atau belakang kita. Karena bahagia kita yang ciptakan. Dan bahagia berumah tangga adalah kita dan pasangan yang ciptakan.
Tulisan ini saya tulis sesaat saya berdiskusi singkat dengan suami tentang 'Me Time'. Ada konsep yang belum sefrekuensi antara saya dan suami tentang istilah ini. Konsep apa saja???
1) makna dari 'Me Time'
Saya pribadi baru mengenal istilah ini secara aplikatif sesaat setelah menjadi ibu. Viralnya istilah ini membuat saya mengiyakan bahwa saya butuh 'me time'. Maknanya???
"Waktu dimana saya hanya ada untuk diri saya. Tanpa anak-anak ... tanpa suami."
Spontan saja suami saya kaget. Hah????
"Trus ngapain nikah dan punya anak donk kalo kaya gitu????"
2) realisasi 'Me Time'
Setelah memiliki makna seperti yang saya sampaikan di atas (yang mana makna itu adalah definisi pribadi saya), maka suami bertanya tentang "memang mau me time nya kaya gimana????"
Saya jawab ....
"saya butuh waktu sendiri tanpa kamu dan anak-anak. Terserah saya mau ngapain. Di rumah atau di luar. Mau jalan-jalan atau sekedar ngopi sembari membaca buku. Apapun, yang saat itu sedang saya mau lakukan."
"Butuh waktu berapa lama???" Tanya suami serius.
"Tidak tentu ... tergantung seberapa berkualitas nya me time saya" jawab saya enteng.
"Kualitas maksudnya", suami makin bingung.
"Kualitas ditentukan oleh seberapa siap kah kamu menjaga anak-anak tanpa saya sehingga kamu tidak mengusik saya saat saya me time. Tidak menelpon atau memanggil saya ketika anak-anak rewel. It means, mau anak-anak nangis atau bertengkar, ya itu urusanmu." Maaf saya jawabnya agak sentimentil.
★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★
Pernah atau tidaknya kamu mengalami momen seperti saya di atas, dimana 'Me Time' menjadi topik diskusimu dengan pasanganmu, bagi saya topik ini penting untuk disamakan persepsi nya dan mungkin juga penting jadi bahan diskusi dengan suami.
Mungkin ada pasangan yang tidak perlu diawali dengan diskusi untuk menyamakan persepsi ini. Dan mungkin ada pasangan yang mana suaminya sangat paham akan kebutuhan 'Me time' ini. Apapun kondisi nya ... inilah cerita saya.... hehehe
Sebenernya topik me time ini sudah sangat sering saya diskusikan dengan suami termasuk saat kami masih bersama (belum dalam kondisi LDM). Namun karena memang 2 poin di atas belum memiliki persepsi yang sama antara saya dan suami, sehingga kami belum pernah merealisasikannya (dan saya sempat drop karenanya).
Bagi suami, ketika perempuan memutuskan untuk menikah, maka dia sudah harus siap untuk hidup dengan suami dan anak-anak nya. Dan jika pun akan me time, ya cukup saat anak-anak tidur. Overall, pemahaman ini benar. Tapi coba kita liat dari sudut pandang saya, sebagai istri.
Saya pribadi sebenarnya juga bukan tipe yang terlalu mempermasalahkan konsep me time ini. Karena hakikatnya, ketika anak dibesarkan secara bersama-sama, maka otomatis istri akan menemukan me time nya sendiri. Misal, disaat memasak, suami handle anak-anak FULL. Jadi istri tidak akan terlibat urusan anak-anak apapun yang terjadi.
Namun pada kasus saya pribadi, dimana anak-anak mulai dari awal mereka lahir hingga mereka berusia 14 bulan hanya merasakan kehadiran fisik saya sendiri, sehingga wajar saja baik anak-anak atau pun suami saya butuh adaptasi ketika mereka bertemu fisik.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan saya masih mewajarkan anak-anak belum bisa menggantikan posisi saya dengan ayahnya. Sehingga apapun, semua saya yang handle. Bahkan sekedar ke toilet atau mandi pun, saya tak bisa me time hanya karena anak-anak tidak mau ditinggal dengan abinya.
Ritme perbaikan di masa adaptasi yang kurang teratur dan cenderung barbar ini membuat saya sedikit terganggu secara psikis. Saya merasa tidak memiliki waktu pribadi untuk diri saya sendiri. Selama 24 jam, saya hanya untuk anak-anak dan suami. Lebay???? Coba kita lihat list keseharian saya awal-awal suami pulang S2.
* Bagun tidur subuh, anak-anak bangun dan kadang masih ingin ngeASI. Pikiran saya teralihkan ke aktivitas menyiapkan sarapan, pakaian kantor suami. Secara umum, suami sangat pengertian. Tidak membebankan semua harus saya lakukan.
* dilanjut mandi anak-anak dan sarapan bareng. Menghadapi anak bertengkar dan rebutan dll nya.
* suami berangkat, saya bertiga dengan anak-anak. Terkadang main di luar, sama tetangga atau kadang hanya kami bertiga. Di rumah, bertiga. Rebutan nyaris setiap waktu. Perhatian terkuras ke anak-anak. Pegang gadget???? Sama artinya saya melabilka emosi saya. Dan inilah dulu yang sering terjadi. Atas nama me time, saya nyambi gadget an sambil ngasuh anak-anak. Kalo lagi eling, siapin mainan homemade buat mereka.
* anak-anak tidur siang. Saya masak untuk makan siang, nyuci baju dan piring. Tak jarang anak-anak bangun lebih cepat. Dan rewel. Pekerjaan terbengkalai. Saya pusing, anak-anak berantem, emosi pun terpancing.
* sore hari sehabis main, mandi sore, beres-beres rumah persiapan suami pulang. Waktu ini agak santai. Tapi lagi-lagi masih berkutat dengan anak-anak yang berantem dan rebutan mainan.
* suami pulang, maghrib, makan malem, anak-anak mulai mengeja tidur tetap diselingi dengan berantem dan rebutan sesuatu.
* anak-anak tidur saatnya couple time. Terkadang ikut tertidur dengan anak-anak. Cape baik saya atau suami dengan rutinitas masing-masing.
Begitulah hingga akhirnya kembali lagi subuh.
Diselang aktivitas saya itulah saya mencuri-curi waktu untuk mandi dan buang air. Selama ngontrak, kamar mandi selalu di buka apapun aktivitas saya di dalamnya. Dan ketika saya di kamar mandi, tak jarang anak-anak dengan kekanak-kanakannya rebutan sesuatu. (Kalo mereka tidur, dan terbangun kemudian mendapati saya di kamar mandi, wah tangisan mereka kaya singa yang mengaum >> lebay)
Wajar??? Ya memang wajar. Namanya juga anak-anak. Apalagi ini ada 2 anak. Hmmmm ... berarti wajar juga bukan ketika seorang istri meminta sekedar 30 menit untuk tidak berada di rutinitas yang dihadiri anak-anak dan suami??? (Butuh dukungan dan pembenaran ... hahaha). Itulah yang dinamakan me time.
Bahkan saya pribadi menginginkan me time berupa mandi, tanpa harus mendengar anak-anak berantem atau rebutan dan menangis ditambah kekurangtelatenan ayahnya dalam melerai yang malah mempermarah keadaan. Maka wajar jika saya rasanya ingin mandi di rumah tetangga atau dimana pun yang memungkinkan saya tidak mendengar kekisruhan rutin di rumah.
Saya belum siap jadi ibu? Ya bisa jadi. Dan saya meyakini, se siap-siap nya seorang wanita menjadi ibu, tetap saja wanita tersebut butuh me time.
Misal me time nya wanita kantoran adalah ketika jam makan siang hahaha hihihi dengan rekan kerja. Atau me time nya yang dagang offline adalah ketika bercanda dengan pedagang lainnya. Lalu, me time seorang ibu rumahan seperti saya? Nyeruput kopi ketika anak-anak tidurpun saya tidak bisa karena gagal berdamai dengan cucian. Dan jika berdamai dengam cucian, artinya berdamai dengan belanja bulanan yang berkurang karena harus melaundry (dan ini akhirnya jadi pilihan akhir saya ketika sudah bosan tingkat tinggi). Ya, lagi-lagi ini memang kasuistik. Dan untuk kasus saya, saya merasa perlu untuk menyampaikan konsep me time versi saya ke suami.
Tidak ingin hal ini terulang lagi, maka tadi pun, via WA, saya mendiskusikan kembali soalan me time ini dengam suami. Menyamakan persepsi tentang makna dan realisasi me time. Dengan contoh riil yang pernah kami lewati ... akhirnya suami saya menangkap apa me time versi saya.
Diskusi kami pun berakhir baik dengan penutup dari saya,
" Yg saya harapkan ketika di US ... Beri saya waktu utk jalan2 sejenak diluar,, tanpa kamu, tanpa anak2,, sekedar melihat rerumputan...atau org2 lalu lalang".
Apapun me time versi kamu .... bagi saya me time itu membebaskan sejenak pikiran dari rutinitas diluar hal pribadi kita. Dan inilah bahagia versi saya ketika saya dan suami bersama mencari makna untuk jalan dalam keselarasan.
Punya cerita lain tentang me time .. yuk share ... mudah-mudahan saja bisa jadi cerita untuk anak-anak kita kelak dan menginspirasi orang-orang sekitar kita.
Payakumbuh, 7 April 2016
"Karena setiap kisah itu berbeda, maka tuliskanlah biar kamu mengingatnya dan menjadikannya pelajaran"
Post Comment
Posting Komentar
Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗