Atuhlah anak-anak ...
Bantu umi untuk menuliskan kisah baik kita... :(
Lagi-lagi umi mampir di blog untuk kisah buruk kita... umi sedih.
Menjadi perempuan yang tidak terlalu menyenangi anak kecil tidaklah enak apalagi setelah diri sendiri memiliki anak kecil dari rahim sendiri.
Namun tidak menyenangi bukan berarti tidak suka. Hanya saja saya mati gaya ketika kelamaan diajak main oleh anak kecil. Senyum saya yang awalnya merekah perlahan memudar ... dan lama2 saya bosan. Dan setelah memiliki anak kecil dari rahim sendiri, saya pun masih merasakan hal yang sama. Seperti kejadian kemaren hari, disaat saya merasa kangen dengan anak-anak dan memutuskan untuk meliburkan mereka sekolah.
★Fase ingin menjadi bintang
Zaid lagi senang-senangnya menjadi 'baby nya umi'. Dia tiba-tiba tiduran dan kemudian bertingkah seperti bayi kecil. Dengan kaki diangkat-angkat keatas seperti menendang-nendang plus suara yang dibuat-buat seperti bayi. Kelakuan Zaid persis adik saya dulu. Jika dulu saya berposisi sebagai kakak dengan usia saya yang masih SD, sekarang saya berposisi sebagai ibu di usia penghujung angka 2. Sangat berbeda sensasi yang saya rasakan.
Apa perbedaannya?
1) adik saya berperan bayi saat dia sudah lancar bicara sedangkan Zaid dalam keadaan biasa saja saya masih kesulitan untuk memahami ucapannya
2) dulu saya masih anak kecil yang mengasuh anak kecil sehingga mudah bagi saya bersikap seperti anak kecil. Sedangkan sekarang, saya belum mampu menghapus pikiran-pikiran kecil yang menjelimetkan otak saat sedang bermain dengan anak-anak. Sehingga ketika Zaid over bersikap seperti baby, saya mulai kesel.
Kenapa kesel? Karena dia berperan menjadi 'crying baby' not 'happy baby'. Modusnya ingin diperhatiin selalu sementara Ziad adiknya yang tidak melakukan hal yang sama tentunya juga membutuhkan perhatian saya. Alhasil? Mereka sama-sama berebut perhatian saya dan tak jarang berujung pada pertengkaran.
Mereka butuh disalurkan energi?
Ya memang betul. Namun ketika energi itu berlebih kala ayam pagi baru berkokok, ibu mana yang tidak panik pagi-pagi disuguhkan pertunjukan seperti ini. Boro-boro meminta mereka mandi pagi, mereka berhenti bertengkar saja saya sudah syukur.
Tampaknya anak-anak ditinggal abinya dalam fase yang kurang tepat. Kenapa? Karena saat ini anak-anak dalam fase show off. Mereka ingin jadi bintang dihadapan orang tua nya. Lho? Kok bisa tau? Ya bisa saya lihat dari keseharian mereka yang tak henti-hentinya berkompetisi memperlihatkan "mi babang bisa" dan "mi dede bisa" baik dalam makan, memakai pakaian, berhanduk, dandan sehabis mandi dengan segenap prentelan mereka sampe bermain mainan mereka yang mana anak seumuran mereka bisa saja belum bisa memainkannya (gasing dan yoyo).
Lalu kenapa Zaid menjadi over dibanding Ziad? Karena Zaid mengetahui dirinya tak banyak bisa dibanding adiknya. Karena Zaid belum berhasil menggunakan baju dan celana sendiri seperti halnya Ziad. Karena Zaid belum bisa pee dan pup di kamar mandi seperti Ziad. Apakah saya membandingkan? Tidak. Saya hanya mencatat perkembangan mereka dengan sangat sadar bahwa mereka 2 individu berbeda meski berusia sama.
Saya jadi berfikir, jangan-jangan role play as a baby yang dilakukan Zaid sebagai salah satu cara Zaid mengalihkan perhatian saya? Karena bisa jadi dia melihat bahwa saya tampak lebih menyenangi bayi meski bayi tersebut menangis. Sedangkan saat dia menangis saya selalu meminta dia berhenti menangis dan kemudian tersenyum. Atau .... hmmm yang pasti, tingkah Zaid seperti ini karena melihat para bayi yang dititipkan di sekolah diperlakukan seperti apa. Mungkin ya ...
Terkadang menyesal saya menyematkan panggilan abang adik pada mereka. Karena membuat asumsi orang-orang bahwa abang adalah kakak dan adik adalah adik dimana kakak harusnya lebih 'pandai' dari adik. (Baiklah, kalian umi panggil nama aja)
Ah, inilah anak-anak di usia mereka yang sudah 33 bulan alias 3 bulan menjelang 3 tahun. Dengan kemampuan mereka yang masih terbatas, saya yakin (dan terus mengumpulkan keyakinan) bahwa anak-anak akan melejit sesuai dengan waktunya. Lagipula toh melejitnya anak-anak tidaklah melulu harus sesuai standar kita orang dewasa kan? Karena bagi saya orang dewasa tidaklah lebih kreatif dari anak-anak. Orang dewasa sudah terlalu banyak intervensi luar yang mempengaruhi daya kratifitasnya. Sedangkan anak-anak masih pure.
Semoga saya segera disampaikan pada waktu dimana saya dan suami bisa bersinergi dalam mendidik anak-anak. Sehingga energi positif saling berpadu mengalahkan energi negatif. (Seperti halnya sailormoon bersatu dengam tuxedoo bertopeng mengalahkan para penjahat!!! :D )
Ya, saya butuh partner!!!!
♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥
#catatan ini saya buat untuk Zaid ku ... yang hari kemaren berhasil membuat umi panik sejadi-jadinya. Yang membuat umi harus menghela nafas panjang sepanjang-panjangnya. Bantu umi mengerti kamu ya ...
ketika kamu dewasa kelak, tahu kah kamu bahwa inilah fase panik kita. Fase dimana umi merasa menjadi orang tua yang tak mampu menyeimbangkan kebutuhan mu. Sehingga saat menuliskan tulisan ini, umi hanya mampu meminta pada Allah .. "jika tidak bisa menjadi ibu terbaik, paling tidak jadikan umi menjadi ibu yang tidak menyakiti anak-anaknya ... "
Untuk Ziad, penyeimbang kakakmu ... rajin-rajin berdoa ya ... "dede sayang babang, babang juga sayang dede. Dede dan babang mau jadi anak yang soleh". Aamiin...
Dan biasanya akan ada fase kebalikan ... ah apapun fase nya, bantu saya untuk menikmatinya ya Allah ... hilangkan semua persepsi dan asumsi negatif. Bahwa anak-anak adalah anak-anak. Bantu saya untuk memahaminya ya Allah ... :(
(Tidak hanya untuk anak sendiri ... tapi untuk semua anak. Ingat. Anak-anak adalah anak-anak dengan cara dan pikiran mereka yang unik. Sadar putri!!!!!!!!)
Payakumbuh, 16 April 2016
Post Comment
Posting Komentar
Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗