"Hiduplah seperti seekor burung yang terbang dengan 2 sayapnya. Sayap sabar dan syukur"
Kutipan di atas saya peroleh sejak saya SMA. Yang saya ingat seperti itu bunyinya. Dan saya lupa lagi itu ungkapan siapa. Yang pasti, sabar dan syukur 2 hal yang disandingkan Allah dalam firmanNya surat At-taubah:45.
Ceritanya ini tulisan pertama saya (pertama setelah pertama yang lainnya) setelah mengalami fase stuck yang berkepanjangan dengan dalih sedang fokus menyapih anak-anak. Anak-anak sudah tersapih, tetap saya tak kunjung menulis melainkan hanya sedikit. Saya kembali merasakan bahwa menulis itu beban. Saya kehilangan kenikmatan menulis. Menulis apapun yang saya inginkan, pikirkan dan rasakan dari setiap detik hidup saya.
Alhamdulillah setelah sempat ingin menghilang dari segala jenis dunia sosial (alias ingin menjadi individualis) termasuk sosial media, saya akhirnya tersentak bahwa hati nurani saya berkehendak lain. Bahwa saya adalah makhluk sosial. Bahwa saya hidup di dunia tak sendiri melainkan ada jutaan penduduk dunia lain. Saya bertanya terus menerus pada diri sendiri tentang sudah seberapa bermanfaatkah saya di dunia ini. Tak peduli manfaat sekecil apapun. Tak peduli diketahui oleh orang banyak.
Entah saya saja mungkin yang mengalami hal ini. Saya mengalami disorientasi hidup. Berkarya yang dulunya saya pandang sakral sekarang berubah menjadi sebuah ajang pamer kebolehan. Padahal tidak semua orang yang berkarya ingin pamer dan 'unjuk gigi'. Ada yang niatnya untuk memotivasi orang lain, ada yang niatnya memberi inspirasi dan ada juga sebagai pelekat memori saja. Saya sibuk menerka-nerka apa motivasi setiap orang-orang yang berkarya dan memposting karyanya tersebut di media sosial. Kesibukan ini membuat saya akhirnya lupa sendiri untuk berkarya.
Selain itu, saya sibuk mencari-cari aktivitas yang penuh eksistensi. Aktivitas yang memfasilitasi narsisme pribadi. Dan lagi-lagi saya lupa, bahwa ada projekan Tuhan yang dititipkan pada saya, my lovely twin boys.
Memang inspirasi itu datang hanya dari seseorang yang tulus. Karena ketulusannya berbagi itulah, hati saya yang keras jadi melembut dan tersentuh dengan apa yang dilakukannya. Pribadi tulus inilah yang meski tak pernah bertatap wajah dan bertegur sapa, hanya mengenal lewat tulisan dan cerita dari orang terdekatnya, saya terketuk sekaligus tertampar. Ya, sosok seperti inilah yang saya butuhkan. Tokoh (yang belum ditokohkan ini) yang selalu mengajak untuk mencintai Khadijah sebagai suri tauladan. Ibunda Khadijah yang telah berhasil menjadi pendamping orang termulia sejagat raya, Rasulullah Muhammad Saw.
Entahlah ini jawaban dari sekian jawaban yang saya rasa itu adalah jawaban atas permasalahan psychology saya, tapi saya berharap Allah tak lelah menuntun saya menemukan kembali value yang sudah lama menghilang dari diri saya.
Alhamdulillah.. alhamdulillah.. alhamdulillah..
Catatan syukur pertama ini, saya dedikasikan untuk seluruh teman2, teteh-teteh, dan semua orang-orang yang tidak mengenal saya secara langsung melainkan hanya dari dunia sosial media. Saya bersyukur, masih dipertemukan dengan orang-orang yang penuh inspirasi. Dan jujur, saya masih lemah untuk bertemu dengan orang-orang hebat seperti kalian, karena saya harus mempersiapkan diri saya yang masih rapuh ini. Agar tak ada ekspektasi berlebihan yang saya sematkan pada kalian semua. Karena kita semua, manusia, pasti memiliki kelebihan dan kekurangan.
Senin, 19 Oktober 2015
Syukur 1