“Hakikatnya manusia itu lemah, maka kelemahan itulah yang sesungguhnya membuat kita semakin dekat padaNya ...”
Proses panjang perjalanan manusia tidak akan pernah lepas dari yang namanya belajar. Setelah ‘resmi’ menghirup udara dunia, ketika itulah manusia memulai belajar di dunia baru agar mampu bertahan. Perlahan-lahan, manusia kecil berusaha untuk memahami sesuatu yang memang harus dipahami. Memahami ketika ada rasa lapar, tangis lah satu-satu nya cara yang baru mereka ketahui agar orang tua pun tahu ingin mereka. Karena kala itu, bayi baru belajar sesuai dengan jatah mampu mereka saat itu. Seiring berjalannya waktu, dan seiring jejak sejarah yang telah tertapaki di setiap jenjang pendidikan, manusia pun pada akhirnya (harus) lebih banyak memahami sesuatu agar mampu bertahan.
Kemampuan untuk memahami sesuatu itu tentunya butuh proses belajar yang mendalam. Tidak hanya sekedar tahu dan hafal, tapi juga, paham. Semua orang tentunya tahu bahwa jam dinding menunjukkan kepada kita posisi waktu saat itu. Namun tidak semua orang memahami arti dari detik berlalu yang terus berdentang pada jam tersebut. Kemudian, setiap orang juga mengetahui satu per satu huruf abjad sehingga mereka pun mampu membaca dan menulis. Namun ternyata, tidak semua orang memahami hakikat dari membaca dan menulis yang sesungguhnya. Karena membaca dan menulis tidak hanya sebatas pada huruf, karena membaca dan menulis yang sesungguhnya ada pada indera yanng dipadukan dengan jiwa bernama iman.
Begitu juga dalam memahami kata bernama fitrah. Secara bahasa, fitrah artinya suci. Fitrah merupakan sesuatu yang memang sudah sebagaimana mestinya. Fitrahnya air adalah membasahi dan api membakar. Kemudian ada lagi sifat yang sudah menjadi fitrah sesuatu itu. Seperti dua contoh tadi, sifat air itu cair, dan api itu panas. Dan itulah yang menjadi fitrah sifat mereka.
Manusia, sebagaimana halnya air dan api yang juga merupakan ciptaan dari Dzat yang satu, memiliki sifat bawaan yang bernama fitrah. Salah satunya yaitu lemah.
Banyak hal yang menjadi bukti kelemahan manusia. Misalkan saja, ketidakberdayaan kita dalam mengontrol datangnya penyakit, kesulitan kita dalam mencari pekerjaan ataupun ketidaktahuan kita akan kecelakaan yang akan menimpa. Andaikan manusia itu kuat, pastilah mereka tidak mau ada penyakit yang menggerogoti tubuhnya, atau pastilah mereka akan dengan mudah memilih pekerjaan sekenanya, bahkan mampu menghindari kecelakaan dengan adanya kekuatan. Tapi, itu hanyalah perumpamaan, umpama manusia tahu apa yang tidak dia inginkan akan datang, menimpa atau mendatanginya. Inilah bukti manusia itu lemah.
Bagi seorang mukmin, tentunya dia sangat menyadari akan hakikat yang telah menjadi sunatullah ini. Hakikat akan kedekatan mereka yang lebih kepada Rabb nya ketika mereka mampu mengarahkan kelemahan tersebut berdasarkan landasan-landasan yang disuratkan Allah.
Landasan yang pertama, dalam menyikapi kelemahan kita, perlu dimunculkan keimanan. Keimanan akan berlakunya kekuatan Allah swt yang Maha Dahsyat. Karena Allah lah yang telah mentakdirkan lemah sebagai fitrah kita.
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (QS. 4: 28)
Inilah suratan itu, dan Allah yang kuasa atas semuanya. Dan kita hanyalah makhluk nya yang lemah. Tidak setuju dikatakan makhluk lemah? Atau kita menolak untuk dikatakan lemah? Atau tidak senang, tidak suka atau lainnya karena yakin kita adalah makhluk yang sempurna?
“... boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu,padahal itu tidak baik bagimu. ...” (QS. 2: 216)
Ayat di atas mengisyaratkan sesuatu, bahwa harus ada penerimaan terhadap sesuatu yang belum kita mengerti apa maksudnya. Sebagai contoh, mungkin kita pernah merasa bingung dan bahkan nyaris putus asa ketika berbagai macam jenis usaha dan disempurnakan dengan ibadah beserta doa-doa, namun apa yang kita tuju tak kunjung tercapai. Tiba-tiba hati kita menjerit bertanya atau tepatnya menuntut “Ya Allah, apa lagi yang harus saya lakukan? Kenapa apa yang saya tuju tak kunjung saya dapat?” .... nah, ketika dalam kondisi seperti inilah biasanya titik puncak ujian terhadap kita terkait ayat di atas. Ketika kita memahami, bahwa Allah lah yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kita, tiba-tiba juga kita merubah jeritan kita menjadi sebuah ketawakalan. “Ya Rabb .... ketika usaha-usaha beriring ibadah ini hamba lakukan semata-mata hanya untuk mencapai tujuan hamba saja, maka ampunilah hamba ya Rabb. Sesungguhnya semakin dekat dengan mu dengan uji yanng Engkau beri jauh lebih hamba harapkan.”
Ada ‘penglemahan’ diri, dan itulah titik nadir kita. Itulah posisi dimana Allah serta merta terasa sangat, sangat, dan sangat dekat. Tanpa tahu dan menduga ... pertolongan Allah pun datang. Bahkan melebihi dari apa yang kita harapkan. (lihat kembali QS. 4: 28 di atas)
“ Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. 94: 6)
Ini adalah kerja hati berbekal iman. Karena tidak semua orang kemudian mampu berada pada posisi seperti ini. Itulah tadi, karena tidak semua orang memahami. Dan pada akhirnya, hanya orang-orang yang sadar dan berimanlah yang akan semakin dekat dengan Allah dalam setiap sulit yang dihadapi. Karena mereka adalah orang-orang yang menyadari bahwa mereka adalah lemah. Tapi mereka memiliki Allah yang Maha Kuat yang akan selalu membantu mereka.
Kemudian, landasan berikutnya: munculkan ikhtiar terbaikmu, agar lemah mu mendekatkan mu pada Allah.
Sudah sangat akrab di telinga seorang mukmin ayat Allah yang berisi:
“... Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri ...” (QS. 13: 11)
Allah ingin menguji kita, akan selalu menguji, dari titik terlemah kita. Ketika kita berhasil melewatinya, ketika itulah kedudukan kita bergeser. Ketika kita gagal, maka Allah pun akan memberlakukan ‘remedial’.
Nasib dalam ayat ini tidak sebatas nasib yang berpatokan pada kesejahteraan materi, tapi lebih mendalam, sangat mendalam dari itu. Nasib disini merupakan pertaruhan akan kehidupan kekal kita. Karena pada hakikatnya, hidup di dunia merupakan pergulatan untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat. Jadi, ketika kita benar-benar telah membekali diri dengan keimanan yang kokoh, maka tidak akan ada ragu lagi, bahwa setiap detik dan langkah demi langkah kehidupan kita adalah dalam rangka menuju kehidupan akhirat. Menuju syurga atau nerakanya, itulah yang kemudian pilihan yang diberikan Allah. Dalam ayat ini, perubahan yang diberikan Allah adalah perubahan kepada arah kebaikan. Ketika kita menuju kebaikan tersebut, maka Allah yang akan membantu kita dan kemudian mengizinkan kita untuk bernasib baik di dunia dan di akhirat.
Kemudian, bagaimana dengan perubahan seseorang yang dulunya baik dan sekarang menjadi buruk? bukanlah Allah yang merubah nasibnya kepada keburukan itu. Karena sesungguhnya manusia lah yang memilih dan menjerumuskan diri nya pada jalan kesesatan itu.
Maha Mulia dan Pemurahnya Allah, ketika kita mendekat kepada Allah satu jengkal, Allah akan mendekati kita satu hasta (Hadits). Namun, ketika kita menjauhi Allah, sesungguhnya Allah tidak pernah menjauhi kita. Karena, andaikan Allah mencabut rahmatNya (karena menjauhi kita), sungguh, udara pun tak akan diberikan kepada kita untuk bernafas.
“Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. 55: 13)
Untuk itulah, bagi kita yang mampu memahami, memberikan ikhtiar terbaik adalah untuk sebuah kedekatan dengan Dzat yang dicinta. Memberikan ikhtiar yang terbaik bukan untuk pencapaian tujuan duniawi, melainkan tujuan ukhrawi. Karena pada hakikatnya, dunia akan mengikut ketika kita memiliki orientasi hidup dalam makna ukhrawi.
Ikhwahfillah, itulah hal bisa sedikit saya bagi, tentang pemaknaan yang belumlah mampu begitu mendalam tertuang dalam tulisan ini. Mendalamnya kepahaman bergantung pada diri kita masing-masing. Semakin kokoh keimanan itu, semakin bulat keyakinan itu, diikuti kesucian jiwa (Tazkiyatun nafs), ketika itu lah kita mampu melihat dengan bashirah. Karena sesungguhnya, Allah telah menganugrahkan pada sebagian manusia kemampuan untuk melihat sesuatu yang tidak mampu dilihat oleh manusia yang lain. Karena manusia-manusia itu memiliki pandangan dengan menggunakan mata Allah (Bashirah). Karena mereka, adalah orang-orang terpilih yang benar-benar mencintai Allah dan Rasulnya melebihi diri mereka sendiri.
“... Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, ...(QS. 5: 54)
Wallahu’alam bishowab. Afwan jika ada kesalahan dalam saya memaknai. Mohon diluruskan jika ada yang kurang tepat. Semoga bermanfaat.
Bandung, 12 Juni 2015
Post Comment
Posting Komentar
Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗